Menyikapi hal tersebut, beberapa tokoh lintas agama menginginkan negara hadir dan mendesak pemerintah agar tidak ada kesan pembiaran di dalamnya. Wakil Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Virgo Sulianto Gohardi mengatakan, nasib pengungsi eks Gafatar belum sepenuhnya baik.
"Terutama pada perempuan dan anak. Dalam kondisi darurat apa pun pemerintah tak boleh abai. Bagi pengungsi pemenuhan hak-hak seperti hak aman, pendidikan, hidup layak tak tepenuhi. Perhatian negara masih bersifat parsial atau setengah-setengah," ujar Virgo mengawali konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita perlu lihat Gafatar adalah persoalan penyelarasan otonomi daerah. Bagaimana pemerintah pusat melakukan sinergi, mendorong dan mengendalikan kesamaan perspektif dan sikap terhadap kelompok itu. Negara dan masyarakat, terutama, harus mengambil posisi jelas dan bagaimana meminimalisir stigma melekat para korban," ujar dia.
"Negara perlu mendorong dan memastikan hak sipil terjamin seperti mendapatkan KTP dengan mudah, apakah pemerintah peka seluruh jajaran sampai terbawah bisa menghilangkan stigma (negatif) itu," sambung Alissa.
Romo Siswantoko dari Komisi Justice and Peace KWI memandang bahwa, mereka adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak hidup, makan, dan menghirup udara dan harus dilindungi.
"Korban butuh teman dan sahabat. Mereka bukan kelompok penjahat teroris yang harus ditolak. Pandangan ini adalah harapan ke pemerintah, pertama pemerintah hadir melindungi pasang dan badan untuk eks Gafatar. Kedua, negara punya fungsi edukasi, jika mereka keliru bertentangan dengan prinsip maka harus meluruskan hal tersebut," jelas Romo Sis.
Pandangan berbeda diberikan oleh anggota yang juga Sekjen Peradi Sugeng Teguh Santoso. Pada kasus Gafatar, pengusiran mereka adalah paksaan dan bukan atas keinginan sendiri, ini penting dan berdasar terminologi UU No 6 tahun 2000 terdapat pelanggaran HAM berat di dalamnya.
"Di sana terlibat aparat keamanan dan Pemda. Maka harus diselidiki lebih dalam. Kita desak ke Komnas HAM menyelidiki lebih jauh. Menurut kami upaya menahan Musadeq, Mahfud, dan Andri dengan tuduhan penistaan agama adalah kriminalisasi. Status mereka sebagai tersangka dan kemudian dituntut ke pengadilan akan memotong pengusiran secara paksa agar tak dilidik," ujar Sugeng.
Pandangan berbeda dikemukakan oleh Pendeta Henrek Lokra dari PGI. Menurut dia, hak politik dari anggota kelompok tersebut masih ada tetapi untuk identitas malah tidak ada. Hal tersebut dikatakannya akan menyulitkan jika suatu waktu mendapat bantuan dari negara.
"Hari ini mereka secara statistik politik mereka ada, tapi KTP mereka tidak ada. Mereka juga warga negara tapi tidak mendapat hak-hak negara. Mereka keluar dari Kalimantan, mereka diabaikan. Kita mendorong pemerintah agar mereka dapat bantuan pemerintah," ujar Lokra.
Pada kesempatan yang sama dihadirkan pula eks anggota Gafatar yang sekarang tinggal di Bojong Gede, Bogor bernama Ida. Dia menceritakan betapa sulitnya mencari kontrakan karena masih dianggap membawa aliran berbahaya.
"Saya eks Gafatar Kalimantan Barat, Mempawah. Saya dari Betawi dulu di Senopati tapi sekarang di Bojong Gede, Bogor. Suami saya bengkel dan saya ibu rumah tangga," jelas Ida.
"Saya ditanya pas mau ngontrak, 'punya anak kecil kok gak sekolah, Gafatar ya'? Selalu ditanya itu. Kami mendapat stigma negatif dari masyarakat. Lebih dari itu, kami sulit cari kontrakan. Kami minta ke negara, adilah pemerintah kami juga warga negara yg sama-sama dilindungi konstitusi," harap dia. (bag/bag)