Berdasarkan catatan detikcom, Rabu (15/6/2016), PN Jakpus merupakan salah satu pengadilan yang jarang terdengar menjatuhkan hukuman mati. Entah kebetulan atau memang fakta persidangan tidak memungkinkan majelis hakim menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa kasus pembunuhan.
Lihat saja kasus pembunuhan sadis yang dialami Ade Sara. Perempuan cantik itu dihabisi nyawanya oleh Ahmad Imam Al-Hafitd dan Assyifa Ramadhani. Kedua pelaku didakwa dengan Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman mati. Ade Sara dihabisi dengan cara sadis yaitu di dalam mobil Ade Sara disiksa dengan disetrum, dipukul, diikat hingga mulutnya disumpal koran hingga meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu dasawarsa lalu, PN Jakpus juga mengadili Polycarpus yang didakwa menjadi pembunuh aktivis HAM Munir. Pasal yang didakwakan sama dengan pasal yang didakwakan ke Jessica yaitu padal 340 KUHP dengan ancaman hukuman penjara seumud hidup atau mati.
Tapi faktanya, PN Jakpus hanya menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada Polycarpus dan jauh dari permintaan jaksa yang menginginkan Pollycarpus dihukum penjara seumur hidup. Vonis Polycarpus sempat turun drastis menjadi 2 tahun penjara di tingkat MA karena ia hanya terbukti memalsukan surat.
Atas vonis ini, jaksa lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) dan diubah menjadi 20 tahun penjara. Atas vonis ini, Polycarpus giliran yang mengajukan PK dan dikabulkan. Vonis Polycarpus dikembalikan ke putusan awal yaitu 14 tahun penjara karena putusan PK tidak boleh lebih berat dari hukuman pengadilan di bawahnya. Kini Poly telah menghirup udara bebas.
Baca Juga: Bakar Teman Sebayanya hingga Tewas, Fajri Dihukum Mati
Bagaimana di kasus Holly Angela? Holly tewas di apartemennya di Kalibata oleh sekawanan orang yang disuruh Gatot. Lagi-lagi, PN Jakpus melepaskan Gatot dari jeratan pembunuhan berencana dan hanya dikenakan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian, bukan pasal pembunuhan berencana.
PN Jakpus akhirnya menjatuhkan hukuman 9 tahun penjara pada 9 Juli 2014. Hukuman 9 tahun ini juga diberikan kepada tiga orang suruhan Gatot. Gatot tidak mau banding dan kasasi tetapi langsung PK. Hasilnya, vonis 9 tahun tidak berubah.
Di kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik lainnya yaitu kasus kematian Johannes Brahman Hairudy Natong (Rudy Natong), PN Jakpus juga meloloskan sang pelaku dari hukuman berat. Rudy Notong ditembak dari jarak dekat di sebuah cafe di Hotel Hilton oleh Adiguna Sutowo pada malam pergantian tahun baru 2004-2005.
Majelis PN Jakpus yang diketuai Lilik Mulyadi dan beranggotakan Agus Subroto dan Mulyani menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada Adiguna, jauh dari tuntutan jaksa yaitu penjara seumur hidup.
Demikian juga dengan kasus kematian mahasiswi UIN Jakarta, Wati Rohmawati (19) yang dihabisi oleh kekasihnya, Rahmat Syah. Sang kekasih memukul Wati hingga pingsan. Setelah itu, Rahmat memasukkan badan Wati ke karung dan membuangnya ke sungai pada Agustus 2010. Setelah ditemukan dan diautopsi jenazah Wati, ternyata perempuan malang itu meninggal karena paru-parunya kemasukan air sehingga tidak bisa bernapas. Kejam!
Tapi apa yang diputuskan PN Jakpus? Majelis cukup mengganjar Rahmat selama 14 tahun penjara saja pada 9 Februari 2011. Teman-teman yang memenuhi ruang sidang kala itu histeris dan kaget dengan putusan tersebut.
Kasus pembunuhan terakhir yang diadili PN Jakpus adalah saat mengadili Afdilla Rizki (21) yang melakukan tiga kejahatan sekaligus yaitu merampok, memperkosa dan membunuh karyawati bank BUMN, Silmina. Atas perbuatannya, Rizki dihukum PN Jakpus selama 18 tahun bui pada Mei 2016.
Lalu bagaimana di luar PN Jakpus? Ternyata setali tiga uang, hukuman mati kepada pembunuh sadis jarang dijatuhkan. Lihat saja kasus pembunuhan Deudeuh Alfisyahrin alias Tata Chubby yang dihabisi oleh Priyo Santoso. PN Jaksel menjatuhkan hukuman 16 tahun penjara pada 30 November 2015.
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Seorang ahli hukum dari Barat, HLA Hart menyatakan UU/KUHAP adalah rambu-rambu dan prediksi mengenai keputuan pengadilan yang akan dijatuhkan oleh hakim.
Dalam bukunya yang berjudul The Concept of Law, Hart menegaskan bahwa hukum tidak lahir dari undang-undang tetapi hukum lahir dari putusan hakim. Sebab UU haruslah dipandang oleh pengadilan sebagai standar untuk memberikan hukuman sehingga hukum tidak berada dalam tekstur terbuka.
Ibarat permainan catur, UU merupakan papan catur yang membatasi ruang gerak biduknya dan memberikan kesempatan kepada pemainnya memprediksi arah permainan
Lalu bagaimanakah dengan nasib Jessica? UU mengancam Jessica dengan hukuman mati tetapi hasil akhir ada diketokan majelis hakim PN Jakpus. 'Permainan catur' pun dimulai siang ini di PN Jakpus. (asp/rjo)