"Kita mungkin nanti perlu tenaga pengaman dan sebagainya. Itu yang disampaikan Jamdatun (Jaksa Agung Muda TUN) seperti itu," kata Jaksa Agung HM Prasetyo kepada wartawan di kantornya, Jalan Sultan Hasanuddin, Jaksel, Jumat (10/6/2016).
Dalam praktik eksekusi perdata, sering terjadi perlawanan dari pihak yang kalah. Dari menutup akses jalan, melempar aparat dengan air cabai, mengerahkan orang-orang untuk menjaga lahan eksekusi hingga bentrok dengan aparat. Oleh sebab itu, Kejaksaan Agung tidak ingin kecolongan sehingga dibutuhkan antisipasi pengamanan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini merupakan kasus perdata antara negara vs Soeharto. Dalam hukum perdata maka kedudukan penggugat dan tergugat setara sehingga proses eksekusi pun disamakan dengan proses eksekusi perdata lainnya.
"Ketika kita mengajukan permohonan untuk sita eksekusi ya kita harus membayar ke pengadilan. Pun dananya itu permintaan resmi. Kalau enggak (dibayar) ya nggak jalan. Ya pasti dana itu harus kita miliki untuk bayar permintaan pengadilan negeri," ucap Prasetyo.
Sebagaimana diketahui, MA menghukum Yayasan Supersemar mengembalikan dana sebesar Rp 4,4 triliun ke negara. Jumlah tersebut merupakan total dana yang diselewengkan yayasan yang diketuai Soeharto sejak 1974 hingga lengser dari kursi presiden.
Dalam putusan peninjauan kembali (PK), hakim agung Suwardi, hakim agung Soltoni Mohdally dan hakim agung Mahdi Soroinda Nasution menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum. Alhasil, Yayasan itu dihukum mengembalikan 75 persen dana yang terkumpul sejak 1974 dengan asumsi 25 persen dana telah disalurkan ke yang berhak.
Belasan aset dan ratusan rekening atas nama Yayasan Supersemar telah dibekukan. Tinggal menunggu eksekusi hingga benar-benar dikuasai kembali oleh negara. (asp/nrl)











































