"Saya menutup lokaliasi awalnya karena anak-anak saya di kawasan sana hancur semua hidupnya. Anak-anak di sana rata-rata tidak bisa melanjutkan sekolah kemudian ya sudah kehidupannya seperti itu," kata Risma di Pengadilan MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (8/6/2016).
"Rentetan peristiwa dia menjadi mucikari anak-anak, ucing garong, dia jadi makelar temennya untuk dijual. Itu semua kalau digandengkan itu semua ada di kawasan lokalisasi," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Risma, sejak 2011 Pemkot Surabaya selalu menganggarkan APBD untuk pendidikan di atas persentase anggaran pendidikan nasional. Ia juga berharap ada peran aktif dari orang tua karena pendidikan tak hanya di sekolah, tapi di luar itu.
"Dia hanya 8 jam di sekolah sisanya 16 jam di luar sana, yang kita enggak tahu di mana saja dan ngapain saja. Jadi anak-anak tidak bisa hanya diselesaikan dengan pendidikan di sekolah," ujarnya.
Risma juga bercerita mengenai banyaknya anak-anak bermasalah di Surabaya dan kemudian diamankan Satpol PP.
"Kalau Yang Mulia tahu, kadang jam 1 malam, kadang jam 3 pagi, kadang jam 11 malam saya harus datang ke Satpol PP karena anak-anak kena masalah. Ada yang minum-minuman, ada yang mabuk," tutur Risma.
"Anak-anak sekarang tidak takut sama orang tua, dia hanya takut kepada guru dan sekarang takut pada Satpol PP. Saya nungguin terus. Saya tidak tinggalkan anak itu, sampai dia meminta maaf ke orang tuanya," imbuhnya. (rna/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini