Pengakuan Pembunuh Istri, Mertua dan Keponakan: Saya Panik

Pengakuan Pembunuh Istri, Mertua dan Keponakan: Saya Panik

Andi Saputra - detikNews
Rabu, 08 Jun 2016 10:09 WIB
Ilustrasi (edi/detikcom)
Sumenep - Dengan biadab dan tanpa perikemanusiaan, Benni Sukarno (36) membunuh istri, ibu mertua dan bapak mertua di hadapan anaknya. Majelis hakim tidak memberikan ampun dan menjatuhkan hukuman mati kepada Benni.

"Saya pernah melihat sendiri istri saya sering berduaan dengan laki-laki lain. Saya pernah melihat sendiri tapi saya tidak tahu laki-laki tersebut," kata Benni dalam pengakuannya yang tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Sumenep yang dibacakan dalam sidang vonis pada Selasa (7/6/2016) petang.

Setelah kejadian itu, Benni dan isrinya, Saradina Rahman kerap terlibat percekcokan. Benni yang sehari-hari menjadi tukang parkir di Surabaya pulang ke Sumenep pada 21 Oktober 2015 dan sampai di rumah mertuanya pada dini hari. Benni mengaku berniat menjemput anaknya sedangkan senjata tajam yang dibawanya disiapkan apabila ada perlawanan dari keluarga Saradina.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Benni menyelinap masuk ke rumah mertuanya di Jalan KH Zainal Arifin, Bangselok, Sumenep, Jawa Timur, dan kepergok istrinya. Secepat kilat, senjata tajam yang telah diasahnya itu mencabut nyawa tiga orang yaitu:

1. Istrinya, Saradina Rahman.
2. Mertuanya, Suhariah.
3. Mertuanya, Abdul Rahman.
4. Menusuk keponakannya, Hengky Turnando Firyono dan bisa diselamatkan.

Pembantaian durjana itu dilihat dengan mata telanjang Rafi.

"Sebelum menusuk istri saya, saya melihat anak saya (Rafi) di dekat istri saya dan langsung mengambil pisau ketika isteri saya berteriak dan saya panik," tutur Benni.

Usai membunuh keluarganya, Benni kabur lewat jendela dan sembunyi di rerimbunan. Ia baru tahu istri, keponakan dan mertuanya tewas setelah dia ditangkap polisi.
Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri (PN) Sumenep menjatuhkan hukuman mati kepada Benni. Duduk sebagai ketua majelis hakim Arlandi Triyogo dengan anggota hakim Deka Rachman dan hakim Yuklahyushi. Majelis tegas menyatakan bahwa hukuman mati sesuai dengan konstitusi dan UUD 1945.

"Bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat 1, perkecualian terdapat dalam Pasal 28 J UUD 1945 di mana negara diberikan hak untuk memberikan pembatasan-pembatasan dengan undang-undang terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, maka hukuman mati adalah konstitusional karena tidak bertentangan dengan UUD 1945," ucap majelis dengan suara bulat. (asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads