Perjuangan Penyintas Pelecehan Seks di Kampus Biru Membuka Suara

Perjuangan Penyintas Pelecehan Seks di Kampus Biru Membuka Suara

Sukma Indah Permana - detikNews
Sabtu, 04 Jun 2016 07:35 WIB
Ilustrasi (Foto: Bagus Kurniawan/detikom)
Yogyakarta - Menceritakan kembali pelecehan seksual yang pernah dialami sudah pasti bukan perkara mudah. Memutar kembali memori peristiwa itu artinya merasakan kembali rasa takut dan tak berdaya yang sebetulnya ingin dibuangnya sejauh mungkin.

Namun seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) yang ditemui detikcom memilih untuk berani bicara. Baginya, bicara adalah perlawanan atas pelecehan seksual yang diterimanya dari seorang dosen pria di Kampus Biru, julukan UGM. Dosen itu berinisial Dr EH yang sangat dia hormati.

"Aku hanya diam (saat dilecehkan). Aku hanya diam. Aku nggak bisa ngomong," kata gadis itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karenanya, penyintas (survivor) merasa kecewa terhadap dirinya sendiri yang tak mengatakan penolakannya dengan lebih tegas saat peristiwa itu terjadi. Dia menyesali ketidakberdayaannya karena takut posisi dosennya yang juga sebagai ketua jurusannya saat itu.

"Aku kesal dengan diriku sendiri karena aku adalah orang yang sadar gender, sadar akan hal-hal seperti itu. Tapi aku sadar juga saat itu dia adalah Kajur (kepala jurusan) aku. Dia adalah dosen pengampu nilai aku," tuturnya.

Perlahan, penyintas menceritakan kembali bagaimana peristiwa itu terjadi kepada detikcom. Berawal pada sekitar awal tahun 2015, dia terlambat mengumpulkan tugas makalah dari mata kuliah yang diampu Dr EH.

Melalui email, dia menyampaikan permintaan maaf pada sang dosen dan memohon tanggapan atas makalahnya. Dari situ, dosen tersebut meminta sang mahasiswi untuk menemuinya.

Di pertemuan itu, EH memberikan masukan bahkan mengatakan bahwa makalah mahasiswinya itu bisa dikerjakan untuk skripsinya nanti. Tentu dia merasa senang dengan motivasi yang diterimanya saat itu.

Setelah pertemuan itu, EH meminta mahasiswinya itu untuk menemuinya kembali. Kali ini untuk membantu sebuah proyek yang sedang dikerjakan EH.

"Dia minta aku untuk resume jurnal. Sebenarnya aku sudah tahu dia orangnya touchy. Dan mostly kalau ketemuan selalu malam. Dia selalu milihnya malam, bukan di kampus (fakultas) tapi di Pusat Studi (masih di kawasan UGM)," katanya.

Mahasiswi ini mengaku sudah memiliki rasa takut dan waspada pada dosennya tersebut. Namun, kembali lagi karena kepentingan akademiknya, dia berusaha mengurangi ketakutannya tersebut.

"Sebenarnya aku takut. Tapi aku butuh feedback dia (untuk tugas)," tutur dia.

Hingga pada akhirnya, pada April 2015, keduanya bertemu kembali untuk membahas persiapan presentasi mata kuliah yang diampu EH keesokan harinya.

"Dia megang, aku merasa dia nyenggol dadaku. Aku berusaha nahan. Aku berusaha untuk menutupi tubuh aku," kisahnya.

Saat itu EH memperlihatkan tumpukan buku-buku kepada mahasiswinya tersebut.

"Dia nyebelahin aku, agak meluk. Dan aku terkunci, aku ingat banget dia meremas dadaku."

Tangan EH juga berusaha masuk ke pakaian penyintas. Namun perempuan muda ini menahannya.

"Dia enggak ngomong apa-apa. Yang dia bicarakan tetap soal materi kuliah. Seolah tidak ada apa-apa, aku bingung," imbuhnya.

Kejadian itu kemudian berlalu. Namun penyintas tak bisa begitu saja melupakannya. Perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri yang tak berani melakukan perlawanan dengan lebih keras terus menggelayut.

Dia kemudian bercerita pada sahabatnya. "Aku disarankan untuk lapor. Tapi saat itu aku hanya ingin cerita," kata mahasiswi tersebut.

Setelah peristiwa itu, dia mengaku memutus semua kemungkinan pertemuan dengan sang dosen. Dia tidak lagi mengambil mata kuliah yang diaampu EH dan menolak tawaran proyek darinya.

"Terus bulan Desember 2015, aku dikontak (teman) dan kembali disarankan untuk melapor. Karena katanya tidak hanya aku (korbannya)," tuturnya.

Lalu dia memutuskan untuk melaporkan EH secara resmi ke kampusnya. Sebelum melapor, dia menemui EH untuk menjelaskan perasaannya dan niatnya untuk melaporkan peristiwa itu ke pihak kampus.

"Aku berusaha punya good manner, nggak mau munafik karena sebelumnya kami baik-baik saja. Dan aku ingin menebus kesalahan aku waktu itu (karena) aku nggak berani ngomong (penolakan)," tegasnya.

"Aku bilang (kepada Dr EH), apa yang dia lakukan ke aku adalah pelecehan seksual. Kenapa aku enggak ngomong (saat peristiwa terjadi), karena aku takut dengan segala statusnya saat itu."

Saat peristiwa itu terjadi, EH merupakan Ketua Jurusan di Fisipol UGM.

Di pertemuan itu, penyintas juga sempat meminta EH untuk memperbaiki diri. Dan saat itu EH beralasan bahwa tindakannya merupakan bentuk perhatian dan tak menyangka akan membuat mahasiswinya tersebut tak nyaman.

"Besoknya dia SMS meminta maaf. Dan setelah itu aku melapor (ke kampus)," ujar penyintas.

Lalu, mengapa dia tak melaporkan kasus ini ke polisi?

"Haha..Aku enggak percaya. Apalagi ini serentan ini, mereka (polisi) pasti bakal minta bukti fisik dan malah ribet."

"Untuk level polisi, mereka akan bilang ini sepele," imbuhnya pesimis.

Beragam tanggapan diterima penyintas atas keputusannya untuk melaporkan apa yang telah dialaminya. Mulai dari dukungan hingga mempertanyakan keputusannya melapor setelah beberapa bulan.

"Banyak orang yang masih nggak paham bahwa proses banget untuk kita setidaknya berdamai dengan diri kita sendiri, dan itu yang lama," tuturnya.

"Sampai sekarang aku masih menyalahkan diriku sendiri. Aku sudah predict (dan takut sejak awal)."

Penyintas mengaku setelah laporannya diproses oleh pihak kampus pada awal tahun ini, sebuah kampanye anti kekerasan seksual digelar secara masif di Fisipol UGM.

Hal ini juga dibenarkan oleh Dekan Fisipol UGM Dr Erwan Agus Purwanto MSi. Erwan menjelaskan, agar kasus seperti ini tak berulang pihak kampus yang melibatkan mahasiswa dan dosen menggelar kampanye Zero Tolerance terhadap kekerasan seksual

"(Kampanye) Bekerjasama dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center sejak Februari 2016," kata Erwan.

Tak hanya itu, kata Erwan, pihak Fisipol UGM mendorong para mahasiswa yang merasa menjadi survivor kasus pelecehan seksual untuk berani melapor.

"Dengan jaminan proteksi," imbuhnya.

Kembali ke penyintas kasus Dr EH, dia juga berharap jika ada korban selain dirinya untuk berani melaporkan apa yang telah dialaminya.

"That will be awesome (jika korban berani melapor)," tutup sang mahasiswi.

Dr EH saat ini masih menjalani beberapa sanksi yang diberikan pihak Fisipol UGM. Pertama, EH dibebaskan dari kewajiban mengajar serta membimbing skripsi dan tesis.

Sanksi kedua, membatalkan usulan EH sebagai pusat kajian. Dan tak hanya itu, EH wajib mengikuti program konseling dengan Rifka Annisa Women's Crisis Center untuk menangani perilaku negatif EH.

Sanksi tersebut diberlakukan terus, kata Erwan, sampai EH mampu melakukan perbaikan perilaku berdasarkan hasil konseling dari Rifka Annisa Women's Crisis Center.

(sip/dnu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads