Salah satu poin Revisi UU Pilkada yang disahkan di rapat paripurna DPR pada Kamis (2/6) adalah soal politik uang. Penguatannya adalah di peran Bawaslu yang bisa langsung mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang. Sebelumnya, diskualifikasi harus menunggu putusan pengadilan tersebut.
Berikut bunyi aturannya:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(1) Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih
(2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
Meski sanksinya jadi lebih tegas, pengkategorian politik uang ternyata lebih longgar. Uang makan dan uang transpor yang diberikan calon ke peserta kampanye ternyata tidak dianggap sebagai politik uang.
Jumlahnya uang makan dan transpor pun tidak diatur di dalam UU. Hanya disebut agar sesuai kewajaran.
"Yang tidak termasuk 'memberikan uang atau materi lainnya' meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye saat pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan peraturan KPU," demikian bunyi penjelasan dari pasal 73 ayat 1 Revisi UU Pilkada.
Lalu, apakah aturan baru di UU Pilkada ini bisa menekan politik uang? Atau justru sebaliknya, memperbanyak praktiknya dan menciderai demokrasi? (imk/tor)











































