Soal Hukuman Kebiri ke Penjahat Seksual, Menkes: Kami Harus Mengikuti

Soal Hukuman Kebiri ke Penjahat Seksual, Menkes: Kami Harus Mengikuti

Wisnu Prasetiyo - detikNews
Rabu, 01 Jun 2016 20:02 WIB
Menkes Nila Moeloek (Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengaku hukuman kebiri kimia yang diatur di Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bukan persoalan yang sederhana. Meski begitu, pihaknya tetap mendukung aturan tersebut dan mempersiapkan teknis eksekusinya.

"Kami dari kementerian kesehatan tentu memikirkan siapa eksekutornya. Kami memiliki sumpah hipokrates, kami tidak boleh melakukan perusakan, melanggar etika. Tetapi, etika itu adalah mana yang lebih baik atau tidak baik? Itulah yang seharusnya dijalankan," ujar Nila Moeloek di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, (1/6/2016).

Nila mengatakan bahwa perppu ini tetap dibutuhkan untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak. Jika pengadilan memutuskan adanya hukuman kebiri, maka tentu itu akan dijalankan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dan karena presiden menyatakan ini adalah hukuman tambahan. Tentu kalau sampai meninggal, akan menjadi hukuman mati. Kalau itu dilakukan guru atau orang tua, itu ditambah 1/3. Kemudian dipublikasikan secara sosial. kalau ternyata pengadilan menyatakan kebiri, mau tidak mau kita harus melakukannya," kata Menkes.

Namun, Menkes mengatakan, ada berapa hal yang perlu dikaji ulang tentang poin-poin yang diatur dalam Perppu ini. Meski di satu sisi sudah ada kesepakatan terkait dengan beberapa poin, kata Menkes, perlu ada konsolidasi lanjutan dengan kementerian-kementerian terkait.

"Menkum HAM menyatakan, suntik matipun dilakukan oleh petugas terkait. Secara detil, hal ini harus dibicarakan lagi. Kemudian pemakaian cip, memang betul Kemenag, Kemensos, KPAI, mendukung hal ini. Jadi kami sebagai eksekutor tanda kutip, kalau sudah menjadi keputusan, kami harus mengikutinya," ungkapnya.

Di akhir, Menkes menjelaskan tentang efek-efek dari hukuman kebiri kimia yang nantinya akan dilakukan terhadap para pelaku kekerasan seksual. Berat memang bagi pelaku, namun hal itu tetap harus dilakukan demi hukum dan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia.

"Mengenai kebiri, sebenarnya kebiri kimia. Ini adalah pemberian hormon. Hormon harus diperiksa dulu. hormon harus balance. Cara melakukannya itu adalah Hormon laki-laki dikurangi dengan pemberian hormon perempuan. dimana nanti terjadi balance atau kurang. Tentu libidonya berkurang. Tetapi ini disuntik tidak sekali, harus diulang. Ini bukan persoalan yang simpel, dan cukup pelik," beber dia.

"Ini bukan jawaban invidu. Ini kebersamaan. Efek kebiri kima, karena diberikan hormon, akan jadi kemayu. Terjadi osteoporosis. Penelitian belum menunjukkan menajdi kanker. Tapi secara pribadi yang memakai hormon untuk menjadi lebih kelaki-lakian karena dia menderita diabetes, tapi ujung-ujungnya dia kena kanker payudara. Dan yang terkena kelenjarnya di sekitar dubur. Itu lebih sulit lagi dan tidak tertolong karena ganas sekali," sambung dia.

Menkes menyerahkan keputusan akhir tentang Perppu ini kepada para anggota dewan. "Jadi, kita harus hati-hati karena efek samping ini. DPR yang memutuskan, akan dikebiri atau tidak," tutup dia.

Maraknya Kekerasan Seksual

Nila Moeloek juga menyampaikan keprihatinannya soal makin maraknya perilaku kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi akhir-akhir ini. Menkes kemudian bercerita soal apa yang terjadi di Kabupaten Bogor. Ia begitu miris dengan begitu tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak di wilayah tersebut.

"Akhir-akhir ini kekerasan seksual sudah di luar batas. Tadi pagi di Kabupaten Bogor, bupati menceritakan kepada saya dan melihatkan gambar, begitu banyaknya anak-anak umur 4-5 tahun yang dilakukan sodomi," ujar Menkes.

Dikatakan dia, anak korban kekerasan seksual itu akan mengalami trauma berkepanjangan. Ia menyebut kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi belakangan sudah berada di luar batas kewajaran.

"Secara kejiwaan akan terganggu. Tidak tertutup kemungkinan korban itu akan berbuat demikian saat dewasa. Begitu juga anak 2 tahun 2 bulan dilakukan pemerkosaan dan anak itu meninggal," tutur Nila.

"Ibu bupati itu menayakan kepada pelaku, kenapa kamu lakukan ini, karena anaknya cakep. Saya kira ini sudah di luar kemanusiaan. Apakah kita hanya memikirkan pemerkosaan atau korbannya? Ini tidak mudah," imbuhnya. (imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads