Setelah resmi mengajukan banding, kata Meutya, Kemenlu dan pengacara yang ditunjuk perlu segera memberikan bukti-bukti yang meringankan Rita dari hukuman mati. "Saya meminta pendampingan dari Kemenlu khususnya Kedubes RI di Malaysia untuk proses banding Rita ke tingkat selanjutnya," kata Meutya melalui keterangan tertulisnya, Rabu (1/6/2016).
Selain banding atas vonis kasus Rita, pemerintah RI dapat mengusahakan jalur lain misalnya melalui diplomasi dengan memanfaatkan ASEAN, di mana Indonesia mempunyai pengaruh besar dalam lembaga tersebut. "DPR pun juga akan memanfaatkan jalur diplomasi seperti melalui AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly)," papar politisi Partai Golongan Karya itu.
Meutya meminta, pemerintah Indonesia mencontoh Filipina dan Australia dalam melindungi warganya yang tersandung kasus hukum di negara lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rita Krisdianti adalah seorang tenaga kerja wanita yang diberangkatkan ke Hong Kong pada Januari 2013. Selang tujuh bulan kemudian, Rita memutuskan pulang ke Jawa Timur karena tidak ada kejelasan mengenai pekerjaan. Rita kemudian ditawari bisnis kain dan pakaian oleh seorang teman berinisial ES di Makau.
Rita kemudian diberi tiket dengan singgah ke New Delhi, India, dan Penang, Malaysia. Di New Delhi, Rita dititipkan sebuah koper oleh seseorang tanpa boleh membukanya. Orang tersebut menyebut isi koper itu adalah pakaian yang akan dijual Rita di kampung halaman. Akan tetapi, ketika Rita sampai di Bandara Penang, Juli 2013 lalu, Kepolisian Malaysia menangkap Rita. Mereka menemukan narkoba jenis sabut seberat empat kilogram di koper yang dibawa Rita. Pada 30 Mei 2016 kemarin, Pengadilan Malaysia di Penang memutus vonis hukuman mati terhadap Rita Krisdianti. (erd/tor)