Acara nyadran ini digelar, Senin (30/5/2016). Makam Sewu merupakan makam yang bersejarah di mana di tempat ini dimakamkan seorang tokoh Kanjeng Panembahan Bodho yakni murid dari Sunan Kalijaga.
Tradisi Nyadran Makam Sewu ini diawali dengan kirab Jodang dan gunungan hasil bumi. Kirab Jodang di mulai dari lapangan di depan Kantor Desa Wijirejo ke Pendapa Makam Sewu, Wijirejo, Pandak, Bantul. Kirab atau mengarak Jodang dan gunungan ini dikawal oleh Bregodo (prajurit) dari Kadipaten Puro Pakualaman dan dusun-dusun di Wijirejo, Pandak. Jalan yang dilintasi kirab dipenuhi oleh ribuan warga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah sampai di pendopo makam sewu, Jodang dan gunungan didoakan. Selesai doa dan kenduri, gunungan berisi hasil bumi dan makanan diperebutkan oleh ribuan warga yang sudah menunggu sejak siang.
![]() |
"Nyadran ini sebagai bentuk bakti pada para leluhur (birrul walidain) dengan mengirim doa disertai dengan sedekah berupa makanan. Nyadran makan sewu merupakan budaya religius yang menjadi aset dan terus dilestarikan," kata Panitia Nyadran Makam Sewu tahun 2016, Haryadi di pendopo makam sewu.
Panembahan Bodho adalah tokoh yang disadrani di Makam Sewu yang merupakan ulama besar dan diyakini warga sebagai Waliyulloh. Panembahan Bodho bernama asli Raden Trenggono, adalah Adipati Terung III (abad 15 M) yang juga murid dari Sunan Kalijaga. Karena lebih memilih dan mengutamakan menyiarkan agama Islam dan menolak jabatan Adipati, maka sering disebut Bodho (bodoh).
Ia bergelar Panembahan karena merupakan tokoh yang disegani dan dianggap sesepuh pendahulu dari Raja Panembahan Senopati Sultan Mataram dan kemudian diberi tanah perdikan bekas kekuasaan Mangir yang memiliki wilayah timur sungai progo ke utara sampai gunung Merapi. (dra/dra)