Direktorat Pendidikan Pelayanan Masyarakat KPK Yoyok Prakoso mengatakan fenomena tersebut sebagai satu catatan khusus atas proses pendidikan yang berjalan dan juga kondisi keluarga yang harus diperbaiki.
"Ada bapak-anak yang korupsi Alquran. Di Bengkulu ada korupsi yang melibatkan suami dan istri. Begitu juga kasus Akil Mohtar yang melibatkan bapak dan anak," ujar Yoyok di Kafe Al Zein, fx Sudirman, Jl Sudirman, Jakarta Selatan, Minggu (29/5/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak awal, jika anak sudah ditanamkan bahwa korupsi adalah kejahatan, itu saya pikir akan dapat mencegah (perilaku koruptif) dari awal," ujar Yoyok dalam diskusi bertema "Membesarkan Anak Jujur" yang digelar sebagai rangkaian acara Pesta Pendidikan.
Ada 9 nilai yang disasar untuk ditanamkan nilainya yaitu jujur, disiplin, berani, sabar, tanggung jawab, bersyukur, kerja sama, peduli dan sayang teman. Instrumen yang dipakai KPK sendiri dalam menjalankan program ini dilakukan lewat dongeng, asah komunikasi dan permainan.
Menurut Yoyok, dalam beberapa dongeng yang dikenal masyarakat, ada beberapa nilai yang sebetulnya menyimpan nilai yang tidak baik. Dongeng mengenai kancil, memiliki nilai survival yang tinggi. Tapi kecerdikan dan kecerdasan tinggi dari karakter kancil sendiri ada yang tidak memuat nilai kejujuran.
"Dongeng kancil, survivalnya tinggi, punya kecerdasan tinggi tapi ujungnya menggunakan kecerdikannya untuk membohongi buaya ketika ia akan menyeberang sungai. Dari situ sudah ada nilai tidak jujur yang sebetulnya secara tidak langsung mengajari anak berbohong," ujar Yoyok.
KPK lalu memodifikasi karakter kancil jadi tetap cerdik namun dalam upaya menyeberangi sungai tanpa membohongi buaya. Yaitu dengan mengajak buaya berhitung, berapa banyak jumlah buaya yang ada hingga dapat menyeberangi sungai. Di sini, ada nilai kerja sama saling membantu yang mengganti tindakan membohongi buaya, menurut Yoyok.
Hal lain yang dibutuhkan untuk menanamkan nilai antikorupsi yang tidak kalah penting ialah komunikasi intensif antara orang tua dan anak. KPK sempat membuat survei tentang intensitas komunikasi orang tua dan anak sebagai Yogya dan Solo yang dijadikan sampel.
Hasil yang didapatkan cukup mencengangkan. Karena di Yogya dan Solo, waktu orang tua untuk berkomunikasi intens dengan anak hanya 15 menit. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan kehidupan keluarga di kota besar lain.
Ada beberapa faktor, salah satunya adalah kesiapan pasangan dalam membentuk keluarga. Dan terhadap pendidikan anak, keluarga lebih sering menyerahkan hal tersebut kepada institusi pendidikan.
"Idealnya 15 menit tersebut bisa mentransfer nilai, komunikasi yang intim. Bukan cuma basa-basi. Kami rada kaget, hasilnya membelalakkan mata. Hasil survei kami, tujuan membangun keluarga adalah membangun keluarga samawa. Mereka membangun keluarga tapi tanpa persiapan, akibatnya terjadi kegamangan," ujar Yoyok.
"Ternyata di dalam keluarga juga sering tidak adanya komunikasi, negosiasi, kesepakatan. Mungkin karena tidak terbiasa menjalani kehidupan seperti itu, kebanyakan menyerahkan kepada sekolah," imbuhnya.
Yoyok mengimbau kepada orang tua untuk mencontohkan perilaku jujur. Sehingga anak dapat menerapkan dalam keseharian langsung. Sebab keteladanan dalam keseharian akan lebih mudah didengar anak. (nrl/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini