Gibran berbagi pengetahuan soal kewirausahaan dalam acara Seminar Nasional Revolusi Mental Pemimpin Muda "Solusi Kemajuan Bangsa" di Universitas Dian Nuswantoro Semarang bersama rektor Edi Nursasongko. Dengan gaya khas anak muda, berkemeja kotak, celana hitam dan sepatu kets,Gibran santai menjelaskan. Bahkan ia menyelipkan canda walau ekspresinya irit senyum.
Penjelasan Gibran diawali dengan memperlihatkan foto-foto usaha catering yang sudah dilakoni sejak tahun 2010 yaitu Chilli Pari Catering di Solo sambil memberikan penjelasan. Satu foto slide bertahan tayang paling lama hanya 10 detik dan sudah berganti foto-foto lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini isinya gambar-gambar semua, orang males kalau bikin powerpoint kayak gini," imbuhnya disusul gelak tawa.
Usaha cateringnya makin lama makin besar dengan usaha promosi dan inovasi yang dilakukan. Gibran mengakui kalau ada beda antara restoran da catering, karena catering harus membelokkan mindset calon pelanggan yang lebih memilih catering yang sudah lama atau berpengalaman.
"Kalau resto, ada yang baru maka orang ingin coba. Kalau catering beda, harus membelokkan mindset customer dan mendapatkan trust. Misalnya kakak anda menikah kemudian anda akan menikah maka disarankan memakai catering yang sudah dipakai," tandasnya.
Oleh sebab itu berbagai model promosi dilakukan misalnya dengan mengikuti pameran atau dengan membuka test food di kantor Chilli Pari. Berbagai inovasi terus dilakukan karena tren tema pernikahan setiap tahunnya mengalami perkembangan.
"Ya salah satunya ikut pameran, terus memberikan test food gratis. Datang saja ke tempat saya, kalau enggak pakai catering saya juga enggak apa-apa," ujarnya.
Selain catering, Gibran juga membahas soal Markobar, usaha martabak manisnya yang sudah membuka cabang diberbagai kota. Ia menjelaskan, Markobar sebenarnya bukan usaha miliknya, ia bergabung sekitar satu tahun terakhir. Bersama teman-temannya ia mengembangkan kuliner martabak manis asli Solo itu agar dikenal di Indonesia.
"Saya sebenarnya bukan pemiliknya, saya baru gabung setahun ini. makobar itu sejak 1996, mulai dari pedagang kaki lima. Kalau di Solo sudah terkenal, tapi dari dulu gitu-gitu aja, enggak buka cabang. Saya datengin, saya ajak yuk buka cabang, soalnya ini harus kuat," cerita Gibran.
Markobar memulai buka cabang termasuk di daerah Cikini Jakarta dan Jalan Pemuda Semarang. Inovasi dilakukan dengan paduan berbagai rasa dan ternyata pelanggannya membeludak bahkan setiap sore antre. Gibran pun sempat mendapat keluhan dari pelanggan soal antrean itu.
"Kita pernah dapat komplain karena antre sampe 4 jam. Ya jawabannya, itu resiko. Kalau malas antre ya pakai Go Jek bisa, ya solusinya begitu. Kebetulan yang di Semarang cabang paling gedhe di pinggir jalan besar, di Jakarta, Cikini itu, kalau sore bikin macet," terangnya sambil bercanda.
Ketenaran Markobar terus dikenalkan oleh Gibran dan teman-temannya. Event makanan tingkat internasional di luar negeri juga berusaha diikuti. Meski demikian Gibran tidak berniat untuk menjadikan Markobar sebagai waralaba. Menurutnya nama besar yang sudah diraih lebih baik dikelola sendiri.
"Saya pernah coba untuk lisensi saja Rp 500 juta tiap buka cabang. tenyata permintaan banyak. Tapi saya coba mikir lagi, daripada franchise mending buka sendiri. Saya melihat yang ingin beli (lisensi) itu, mohon maaf, banyak yang bisnis pemula yang punya duit, saya kurang suka. Kalau tidak bisa jalankan bisnisnya dan hasilnya jelek, nama kita yang kena, mending kelola sendiri walau agak pusing," jelasnya.
Gibran pun memberikan wejangan kepada para mahasiswa agar tidak takut berwirausaha. Ia mengatakan meski ayahnya Wali Kota ketika mendirikan catering, ia mencari modal sendiri dengan menjaminkan sertifikat tanah. Gibran juga menekankan jika sudah sukses agar jangan lupa beramal.
"Kalau sudah sukses disedekahkan. Saya menjalani catering sudah 6 tahun, saya punya house of knowledge, kursus bahasa Inggris gratis, muridnya sudah 1.000-an," ujarnya. (alg/trw)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini