"Tidak semata-mata dia melakukan kejahatan seksual terhadap anak misalnya paedofilia lalu dia dikasih cairan kimia karena apa pun yang kita berikan, kalau kita berikan secara medis itu ada pelanggaran dari HAM, kode etik kedokteran, dan sumpah dokter," ujar Kasubdit Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes, Lina Regina Mangaweang, di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Senin (23/5/2016).
Menurut Lina karena pelaku kebiri itu tidak selalu orang yang kelebihan hormon seksualitasnya. Melainkan ada orang yang memang tertarik dengan anak-anak sebagai objek fantasi seksualitasnya sehingga itu membutuhkan rehabilitas dan terapi psikologi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di luar negeri, Lina menyebut suntik kebiri ini juga menghabiskan biaya sekitar Rp 180 juta per tiga kali suntik yang dibutuhkan beberapa pemeriksaan hormonal (klinis). Namun, hal itu tergantung jenis dan merek obat yang digunakan.
Lina menjelaskan sifat seorang paedofilia yang dibagi jadi dua tipe, yaitu primer dan sekunder. Paedofil primer itu yang mendekati korban dengan cara halus. Seperti diberi permen lalu diajak ke pergi, diteruskan tubuh korban dibelai. Dengan cara itu pelaku itu sudah mendapatkan kepuasan sendiri.
Namun, Lina menyebut kalau pelaku yang sampai menggunakan kekerasan perlu dikaji apakah dia melakukan atas dasar dendam karena pernah mengalami penolakan dengan orang sebayanya, itu yang disebut dengan paedofil sekunder.
"Jadi ada beberapa hal yang harus kita analisis. Memang paedofilia itu gangguan, dia sudah memiliki hasrat kepada anak-anak itu bisa selama tahunan dan bulanan," kata Lina.
Dalam diskusi ini hadir pula beberapa aktivis dari beberapa LSM, di antaranya Erna dari Ecpat, Evi dari Sapa (Sahabat Anak dan perempuan) Indonesia, Erasmus dari ICJR, dan anggota Fraksi VIII DPR dari Fraksi Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Para LSM ini mengkaji bahwa sebaiknya yang menjadi fokus utama bukanlah pelaku, tetapi perlindungan terhadap korban dengan memikirkan rehabilitasi dan kompensasi pada korban.
"Pecegahan kita harus mengatakan implementasi hukum bukan soal-soal mengulangi lagi. Hukuman hakim juga harus disadari dan pemahaman atas kekerasan seksual. Harusnya itu hukuman maksimal tapi cuma kena 10 tahun sampai 3 tahun sama dengan pencopet sendal. Percuma kalau di DPR kita memperjuangkan hukuman maksimal kalau hakim dan jaksa tidak maksimal," kata Rahayu yang juga merupakan aktivis anti perdagangan orang itu.
"Saya anggota DPR yang memiliki opini humuman mati dan kebiri bukanlah solusinya. Kalau kekerasan seksual itu kita harusnya mencari solusi terhadap kekerasan seksual," sambung Rahayu. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini