"Beberapa hak yang dilanggar yaitu hak atas perumahan, mereka punya hak terhadap rumah-rumah yang mereka miliki. Mereka juga akan kehilangan hak atas pekerjaan, mereka adalah para nelayan," kata Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Senin (23/5/2016).
Komnas HAM telah menerima aduan dari warga kampung dadap yang menolak rencana penggusuran. "Hasil pemantauan Komnas HAM, mereka memiliki bukti hak atas tanah yang cukup, memang ada yang tidak memiliki bukti kepemilikan rumah yang mereka tempati tetapi itu sudah berlangsung lebih dari 20 tahun," urai Imdadun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari 2000 bangunan hanya 72 yang diidentifikasi masyarakat sebagai tempat hiburan dan prostitusi. Karena masyarakat bekerja sebagai nelayan, mereka andalkan tangkapan laut dan tadi sudah disampaikan juga mulai keruh airnya karena reklamasi," terangnya.
"Hak untuk tempat tinggal, itu adalah hak asasi manusia. Selama ini mereka (warga) hanya diundang untuk mendengarkan keputusan yang sudah diambil secara sepihak," sambung dia.
Hal senada juga disampaikan aktifis LBH, Tigo Hutapea yang berperan sebagai pendamping dan kuasa hukum warga. Tigo mengatakan, selain pelanggaran hak, penggusuran juga akan menghilangkan budaya di tengah masyarakat.
"Akan kehilangan juga budaya mereka sebagai nelayan, ketika direlokasi jauh sekitar 2-3 KM, tidak memungkinkan mereka untuk angkut kapalnya sejauh itu," kata Tigo.
Dia juga mengatakan hak pendidikan anak serta hak beribadah akan turut terganggu. Warga yang tidak memiliki sertifikat, sambung Tigo, pernah mencoba ajukan pembuatan sertifikat namun ditolak.
"Beberapa warga punya hak milik, sertifikat hak milik. Memang tidak banyak yang miliki, hanya beberapa warga saja yang laporkan hak atas tanahnya. Mereka sudah kuasai tanah di sana sejak 1975, tahun 2005 beberapa warga coba ajukan pembuatan sertifikat tapi ditolak BPN," pungkas Tigo.
(tfq/tfq)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini