"Saya memahami sensitifitas yang menyelimuti isu komunisme dan peristiwa sejarah yang menyertainya pada tahun 1948 dan 1965. Tapi menyikapi isu ini dengan pemberangusan buku adalah tindakan yang tidak tepat. Negara pun lewat keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 juga sudah jelas mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan buku tanpa izin pengadilan," ucap Nana di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (17/5/2016).
Nana mengaku tidak setuju dengan pelarangan buku apapun. Hal itu menurutnya tidak sejalan dengan demokrasi yang menghargai perbedaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apalagi, lanjut Nana, zaman sekarang teknologi semakin maju. Orang bisa saja mencari informasi melalui internet.
"Hal itu juga sebuah kesia-siaan karena di zaman internet tiap orang bisa mencari informasi dan mempelajari pengetahuan apa pun yang diinginkannya," kata Nana.
Lebih lanjut lagi, Nana mengatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Apabila ada pelarangan buku tentu malah semakin menjadikan bangsa Indonesia semakin mundur.
"Pelarangan buku adalah kemubaziran akut. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa. Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru," pungkas Nana. (dhn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini