Di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (13/5/2016) malam, Ahok menjelaskan soal perjanjian yang dia bikin pada rapat tanggal 18 Maret 2014 itu. Ahok menyebut itu sebagai 'perjanjian preman'.
Pemerintah Provinsi DKI dianalogikan sebagai preman resmi yang punya kewenangan menarik kewajiban dari perusahaan swasta. Tak hanya terkait perusahaan pengembang reklamasi, namun penarikan kewajiban dari perusahaan swasta lainnya juga dilakukan dengan dasar 'perjanjian preman' semacam itu. Misalnya penarikan kewajiban pembayaran menaikkan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dari perusahaan Jepang, Mori.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian ini dibikin lantaran tak ada Peraturan Daerah (Perda) yang bisa dijadikan landasan kuat penarikan kewajiban tambahan. Belakangan, Ahok bermaksud memasukkan besaran 15 persen kewajiban tambahan kontribusi ke dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Namun akhirnya DPRD DKI sendiri menolak untuk melanjutkan pembahasan Raperda itu, seiring kasus suap yang menjerat penggawa DPRD DKI, yakni Mohammad Sanusi.
Lalu apa yang menjadikan perjanjian semacam itu absah? Ahok menyandarkan semua ini pada Keputusan Presiden (Keppres). Dalam Keppres tersebut, kata Ahok, diatur soal kewajiban yang bisa dikenakan kepada pengembang. Hanya saja besaran kewajiban itu tidak diatur detil dalam Keppres itu.
"Jadi begini, di situ ada Keppres menyebutkan, ada tiga sebetulnya. Jadi landasannya dari situ. Satu, ada tambahan kontribusi. Ada kewajiban, kalau kewajiban kan fasum fasos. Ada kontribusi 5 persen. Di situ katakanlah ada kontribusi tambahan, tapi enggak jelas apa. Ya saya manfaatkan dong (untuk dibikinkan perjanjian sendiri)," tutur Ahok.
Ahok tidak merinci Keppres yang dia maksud. Namun, bila merujuk Keppres Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tidak ada satu pasal pun di Keppres tersebut yang mencantumkan soal kewajiban, kewajiban tambahan, atau kontribusi sebagaimana yang dimaksud Ahok di atas.
Kembali ke penjelasan Ahok, dia menyatakan langkah membikin 'perjanjian preman' ini sebagai kebijakan yang perlu. Maksud terdalamnya bukan untuk kepentingan pribadi, namun untuk kepentingan rakyat Jakarta secara umum, maksudnya agar megaproyek reklamasi bernilai fantastis itu juga bermanfaat luas bagi masyarakat kebanyakan.
"Kalau dibilang saya melakukan sesuatu yang agak aneh, memang. Enggak ada kepala daerah yang berpikir kayak saya. Karena untuk kepentingan DKI, bukan pribadi loh. Makanya saya (DKI Jakarta) ngomong terus bisa kaya raya kalau mau main ini (menarik kewajiban perusahaan swasta)," tutur Ahok.
(dnu/imk)











































