"Nggak boleh seperti itu. Itu sudah masuk delik penggelapan barang bukti," kata ahli hukum pidana Prof Dr Hibnu Nugroho saat berbincang dengan detikcom, Minggu (8/5/2016).
Kunjungan kerja itu dipimpin oleh Dirjen PP Widodo Ekatjahjana dari siang hingga malam hari pada awal Mei lalu. Dalam blusukan itu, Widodo mendapatkan laporan dari anak buahnya yaitu Kepala Rupbasan Kendari, Andy Gunawan di mana kurun 20013 hingga hari ini sedikitnya 30 mobil yang dititipkan kepadanya dipinjam pakai oleh pihak penyidik. Tetapi dari jumlah itu, tidak ada satu pun yang kembali. Pinjam pakai yang terakhir yaitu sebuah mobil Hilux warna merah terkait kasus narkoba yang dipinjam pakai pada 12 April 2016 dan hingga saat ini belum kembali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Larangan pindah tangan itu diatur tegas dalam Pasal 44 ayat 2 KUHP yang berbunyi:
Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.
Oleh sebab itu, permasalahan pinjam pakai barang sitaan merupakan permasalahan serius yang harus disikapi karena berpotensi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam catatan Hibnu, baru ada satu kasus penyalahgunaan barang bukti yang naik ke meja hijau yaitu penggelapan ratusan barang bukti pil ekstasi oleh jaksa Ester Tanak dan jaksa Dara Feranita di Jakarta pada 2009 silam. Atas perbuatannya, jaksa Ester dihukum 1 tahun penjara karena melanggar pasal penggelapan sebagaimana diatur dalam KUHP. Adapun jaksa Dara divonis bebas.
"Sistem ini harus segera dievaluasi, baik sistem maupun aparatnya karena potensi penyalahgunaan sangat besar. Komisi Kejaksaan harus bertindak memantau hal ini," cetus guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto itu.
Menurut Hibnu, sistem pidana Indonesia selama 30 tahun terakhir disibukkan dalam proses ajudikasi (penyelidikan hingga putusan). Tetapi dalam post-ajudikasi (pascaputusan), proses tersebut kurang diberikan perhatian dalam criminal justice system yang ada.
"Di sini kuncinya adalah integritas aparat. Di Indonesia, semua aturan sudah ada kok," kata Hibnu menegaskan.
Hibnu menyitir penyataan seorang ahli hukum Belanda, Bernardus Maria Taverne yang hidup pada 1874 pada 1944. Taverne menyatakan geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede officieren van justitien, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruken (Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun).
"Pernyataan itu masih relevan hingga sekarang," pungkas Hibnu. (asp/imk)











































