"Berhubung benda sitaan tersebut (kapal laut) tidak memungkinkan disimpan di Rupbasan Kendari. Oleh sebab itu kami melakukan penitipan ke Ditpolair Polda Sulawesi Tenggara yang pengawasan dan perawatannya dilakukan oleh pihak rupbasan," ujar Kepala Rupbasan Kendari Andy Gunawan kepada wartawan di lokasi, Kamis (5/5/2016).
![]() |
"Ke mana sisanya?" tanya Widodo kaget mengetahui hal itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Berdasarkan Pasal 44 KUHAP, semua bentuk harta sitaan haruslah dititipkan ke Rupbasan. Hal ini untuk menghindari penyelewengan yang tidak diinginkan.
Usai membaca berkas, Widodo menyeberang dengan sampan kecil ke kapal tersebut sebab kapal itu tidak bisa menepi karena pantainya terlalu dangkal. Di atas kapal, Widodo mengecek mesin kapal apakah masih menyala atau tidak.
Adapun lambung kapal Cahaya Satriani GT.138 yang dititipkan oleh Kejaksaan Negeri Raha sudah kosong. Di dalam kapal terdapat 5 orang yang ditugaskan oleh pemilik kapal untuk merawat kapal itu selama disita.
"Kami dibayar Rp 500 ribu sebulan untuk merawat kapal. Saya tidak tahu ini kena kasus apa," kata salah seorang buruh bayaran, Sarwi.
![]() |
Pihak Rupbasan sendiri tidak punya anggaran untuk merawat barang sitaan itu. Dalam satu tahun, Rupbasan Kendari hanya menerima anggaran Rp 35 juta untuk perawatan seluruh barang sitaan.
"Kalau ada kiriman barang sitaan kayu illegal loging dari penyidik, kami minta penyidik sekalian menyediakan kuli bongkarnya sebab tidak ada anggaran dari kami untuk bongkar muatan," ujar Andy.
Untuk mengefektifkan Pasal 44 KUHAP itu, Kemenkum HAM tengah merumuskan Rancangan Peraturan Presiden tentang optimalisasi tata kelola barang sitaan negara itu. Nantinya, semua barang sitaan akan berada di bawah satu komando sehingga dengan mudah diketahui seberapa besar aset negara dari hasil kejahatan. Sebab saat ini masih tercecer di masing-masing penyidik sehingga rawan disalahgunakan dan kekayaan negara tidak terdeteksi. (asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini