Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mencatat setidaknya ada 3 persoalan utama yang saat ini melingkupi lapas yang menyebabkan rentan terjadi gesekan antar napi. Mulai dari anggaran, kurangnya SDM, hingga kebijakan peradilan pidana di Indonesia.
"Kalau soal anggaran, apalagi kan APBN kita 2016 itu terancam defisit sampai Rp 290 triliun. Mau Kemenkum HAM, mau pak menterinya enggak tidur 24 jam kalau katakanlah Kemenkeu tidak menyediakan anggaran yang cukup ya enggak bisa ngapa-ngapain juga," ujar Arsul dalam diskusi 'Ada Apa dengan Lapas?' di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (30/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arsul mengatakan, saat ini pertambahan kapasitas lapas pertahunnya disediakan untuk 4.000 orang, sedangkan inputnya setiap tahun bisa mencapai 18.000 orang. Oleh karena itu persoalan kelebihan kapasitas tak akan pernah selesai.
"Persoalan SDM, bulan lalu saya kunjungan ke Sulteng. Di Sulteng yang kita kategorikan sebagai daerah rawan karena ada Poso, lapasnya over kapasitas, 370 napi hanya dijaga 6-7 orang," ujar Arsul.
"Itu kalau tidak dibantu jin itu chaos. Kalaupun dilengkapi senjata pun pasti kalah," imbuhnya.
Selain Arsul, hadir dalam diskusi ini antara lain Jubir Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM RI Akbar Hadi, Wakil Direktur Center for Detention Studies Gatot Goei, serta Budayawan dan Mantan Napi Arswendo Atmowiloto.
Terkair kebijakan, Arsul menyoroti pemberlakuan PP nomor 99 tahun 2012 yang salah satunya mengatur masalah remisi. Ia memaklumi masyarakat menolak PP tersebut karena tak ingin para koruptor mendapat remisi. Hanya saja, lebih dari 50 persen penghuni lapas adalah kasus narkoba yang sebagian besar adalah pengguna.
"Sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kebijakan pemidanaan dalam sistem peradilan pidana terpadu kita," ujar Arsul.
(rna/Hbb)











































