Ke-5 pemuda itu berasal dari keluarga tidak mampu. Sebagai contoh, ayah Muhammad Iqbal Mutaqqin berprofesi sales keliling dan ibunya hanya kasir warung. Sedangkan ortu Adiyatma Kusuma Wijaya adalah tukang masak restoran. Selanjut, ortu Muhammad Salman Alfarizi dan Muhammad Saifudin hanya kuli batu.
"Kami sempat minder. Sebab yang sekolah di sini anaknya orang kaya-kaya. Sedangkan kami hanya anak orang miskin," ujar Muhammad Saifudin kepada detikcom, Jumat (29/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 10 orang yang diajukan, 2 orang gugur dites pertama. Selanjutnya, 3 orang tidak lolos di tahap selanjutnya. Dari keseluruhan tes tersebut, 5 taruna yang lolos mendapat beasiswa ini mengaku tes bakat terbang dan kesehatan adalah yang paling sulit.
![]() |
"Teman saya terkena penyakit asam urat. Akhirnya tidak lolos. Sementara lainnya tidak memiliki bakat terbang dalam uji tes yang dilakukan di Banyuwangi. Makanya saya bersyukur bisa lolos dan menjadi taruna disini. Gak nyangka," ujar Muhammad Iqbal Muttaqin.
Hal yang sama diungkapkan oleh Adiyatma Kusuma Wijaya. Pemuda asal jalan Saritama Tower15, Kecamatan Karang Poh, Surabaya ini, mengaku terkejut, kaget dan tidak percaya bisa lolos dalam rangkaian tes tersebut.
"Kaget, terkejut, bingung, gembira dan bangga bisa lolos menjadi taruna. Karena beberapa rekan kami tidak bisa lolos dengan 10 tes yang dijalani. Alhamdulillah semuanya bisa kita lalui," tambahnya.
Meski lolos, kata Adiyatma, saat masuk menjadi taruna di LP3 Banyuwangi, dirinya bersama 4 rekannya asal Surabaya ini harus bisa beradaptasi dengan "ritme" pendidikan yang penuh kedisiplinan. Sebab, saat SMA dan SMK tak ditemukan kedisiplinan yang diterapkan di sekolah pilot ini.
"Sempat kaget saja. Karena disini penuh kedisiplinan. Kami senang di sini dan kesenangan itu menumbuhkan kedisiplinan," pungkasnya.
5 Pemuda ini telah 6 bulan di Sekolah Pilot Banyuwangi. Jika lancar, maka mereka akan lulus setahun lagi.
(fat/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini