Dalam proyek reklamasi itu, muncul kasus korupsi yang ditangani KPK terkait pembahasan Raperda zonasi. Anggota DPRD DKI M Sanusi pun ditangkap karena menerima suap dari pihak salah satu pengembang, PT Agung Podomoro Group soal pembahasan raperda tersebut.
KPK yang hanya menangani kasus korupsi pada Reklamasi Teluk Jakarta ternyata turut diikutsertakan oleh pemerintah untuk membahas kelanjutan pembangunan 17 pulau buatan itu. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Laode Syarif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agenda dalam rapat koordinasi disebut Laode tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang didalami oleh KPK. Salah satunya adalah pembahasan soal properti yang sudah terlanjur dibangun di sejumlah pulau buatan meski izinnya belum ada.
"Iya, tapi bukan termasuk soal korupsinya," ucap Laode singkat.
Hanya saja, ia memastikan bahwa kapasitas KPK tetap pada koridor kasus korupsinya. Untuk urusan moratorium, kata Laode, diserahkan kepada pemerintah.
"Kalau kami yang kami tangani kan hanya korupsinya saja. Sedang moratorium itu haknya dari pemerintah," tutur dia.
Sementara itu Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan seharusnya memang perlu ada evaluasi kembali soal Reklamasi Teluk Jakarta. Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan adalah karena sudah adanya investasi di pulau-pulau buatan itu.
"Uang yang udah di situ kan kalau akal sehat kita mengatakan itu uang rakyat, moratorium itu kan untuk menata lingkungan menata prasarana ya itu sudah benar, tapi bagaimana itu ditata lebih jauh lagi ya karena kalau melihat hukum itu kan nggak boleh hitam putih saja," jelas Saut di lokasi yang sama.
"Di situ sudah ada investasi, semua orang punya hak di situ yang punya investasi. Jadi gini yah, tolong dicatat, bahwa dulu itu kan ada yang namanya great wall, jadi great wall itu kan idenya bagus, itu nanti di integrasikan dievaluasi lagi," lanjut nya.
Evaluasi itu menurut Saut perlu dilakukan secara keseluruhan. Harus memikirkan dari segala aspek, termasuk konsumen yang telah melakukan investasi.
"Pulau-pulaunya, terus kemudian peruntukkan, nelayan, segalanya di hitung semua dari awal. Lalu kemudian setiap orang harus punya aksesnya, kalau kemarin kan nggak, itu dari awal diatur lagi semua, di mana-mana pantai itu milik rakyat," saran Saut.
Soal pembangunan properti sendiri, salah satunya sudah dilakukan di Pulau D dengan pengembang dari PT Kapuk Naga Indah (KNI) yang merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan PT Agung Sedayu Group. Di Pulau D ini, sejumlah ruko dan rumah sudah dibangun namun akhirnya disegel oleh Pemprov DKI karena belum memiliki izinnya. PT KNI juga merupakan pengembang di Pulau C yang memiliki luas 276 hektar.
Gubernur DKI Basuki T Purnama (Ahok) sempat mempersoalkan pembangunan di Pulau C karena mendirikan bangunan tanpa IMB. Bangunan di Pulau C pun juga sudah disegel. Padahal dari dua pulau tersebut, sudah ada yang memiliki nama komersial, yakni Golf Island.
Diketahui sudah ada transaksi jual beli kavling di sana. Iklan-iklan di media pun sudah lama bermunculan dengan maket desain dan kavling yang sudah dibagi-bagi per wilayah. Dilihat dari situs GolfIsland-pik.com pada Selasa (12/4), ada beberapa tipe rumah dan ruko yang sudah ditawarkan. Harganya kisaran miliaran rupiah dengan luas tanah mulai dari 250 meter persegi.
Bahkan penawaran Golf Island juga sudah ada di beberapa situs jual beli properti. Dari sebuah iklan, detikcom mencoba menanyakan lahan di sana. Salah seorang broker penjualan lahan mengatakan, ada pemilik kavling seluas 8x25 meter yang menawarkan harga Rp 2w juta per meter persegi.
(elz/imk)











































