Pembulatan ke Bawah

Anyonghaseo (15)

Pembulatan ke Bawah

M Aji Surya - detikNews
Selasa, 26 Apr 2016 13:15 WIB
Pembulatan ke Bawah
Foto: Istimewa
Busan - Anyonghaseo. Banyak orang yang mencari untung sebanyak-banyaknya, tapi kadang malah hanya menciptakan keuntungan sesaat. Ada yang cari untung kecil-kecilan namun karena bertumpuk akhirnya menjadi gunung.

Saya sempat kaget. Ketika turun dari taksi yang membawa saya dari stasiun ke sebuah tempat di tengah kota Seoul, si tukang taksi terlihat belum mandi. Rambutnya acak-acakan dan celana panjangnya digulung. Wah aman tidak ya, pikir saya. Di tengah jalan, si sopir mulai ajak bicara. Dia bilang, Indonesia good. Tenang deh.

Ketika mau turun dari taksi, saya lihat argo menunjukkan angka 6500 Won. Saya keluarkan uang dari kantong 10 ribu Won. Dan oleh sopirnya bukan diberi kembalian 3500 Won, melainkan 4000 Won. Dia bilang, itu sudah biasa. Khamsahamnida, ujar saya setengah tertegun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Koki restoran memasak di depan pelanggan (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Sampai umur saya setengah abad, baru sekali mengalami kejadian seperti ini, sebuah pembulatan ke bawah. Yang terjadi di banyak maju, biasanya harga selalu tidak berubah, tapi bisa plus tips. Di negeri kita, sebagaimana dialami dalam keseharian, umumnya pembulatan ke atas: baik kemudian dalam bentuk permen ataupun harapan kucuran tips.

Masalahnya, apakah yang saya alami dengan taksi itu sebuah kebetulan belaka? Atau sebuah kebiasaan? Selidik punya selidik, ternyata pembulatan ke bawah banyak terjadi di Korea Selatan (walaupun tidak selalu). Saya bertanya kepada teman-teman, mereka juga mengalami hal yang sama.

Seorang ibu yang biasa belanja di toko untuk kebutuhan rumah tangga misalnya, sangat sering mendapatkan pembulatan ke bawah hingga 1000-an Won, atau kisaran Rp 11 ribu rupiah. Bahkan kalau lagi mujur, tanpa harus menawar maka akan diberikan tambahan sebagai bonus.

Di restoran juga hampir mirip, sevisnya bisa dibilang bagus.Β  Suatu ketika, seorang pelanggan mendapati dalam makanannya plastik dalam ukuran sangat kecil. Ketika diketahui oleh sang pramusaji, segera diganti dengan yang lebih baru, dan tidak perlu membayar lagi. Di negeri ginseng ini, harga makanan di resto sudah termasuk minuman air putih, makanan sampingan seperti kimchi dan serta tidak perlu nambah tips. Ini berarti, harga yang tertera adalah harga maksimal, bukan harga minimal yang masih mengandung unsur ketidakpastian.

Sebuah kafe di Busan (Foto: M Aji Surya/detikcom)

Di sisi lain, pelayanan umum seperti di negara maju sudah hal yang lumrah di Korsel. Ada diskon besar-besaran di akhir musim hingga kebebasan untuk mencoba barang dan bisa dikembalikan bila tidak puas. So, dalam hal tertentu sevis di Korea ini boleh dibilang excellent.

Budaya memberikan servis yang baik kepada pelanggan memang sudah bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan lagi. Semua orang pasti mengamini. Namun dalam praktiknya, sifat ingin meraup untung besar dalam jangka pendek selalu menjadi momok tersendiri. Banyak yang ingin buru-buru alias cepat kaya.

Dalam persaingan pasar yang semakin ketat, sudah pasti keuntungan makin mepet. Tidak akan ada orang cepat tajir dalam waktu singkat. Yang mungkin adalah melakukan efisiensi serta merangkul konsumen sebanyak mungkin secara berkesinambungan. Tanpa itu, hari ini menangguk untung banyak tapi besok pagi mulai gigit jari. (try/try)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads