"Kami sangat mengapresiasi Kemendesa PDTT membawa isu ekologi dan lingkungan perdesaan sebagai salah satu fokus pemberdayaan desa. Isu lingkungan selama ini kerap diangkat namun sekedar hanya pemanis bibir semata," ujar Direktur Eksekutif WALHI Abet Nego Tarigan lewat keterangan persnya, Senin (25/4/2016).
Abet mengatakan saat ini berbagai isu lingkungan dan ekologis membutuhkan solusi konkret. Salah satunya terkait isu konflik agraria kawasan perdesaan dengan pemangku hutan dan tambang di berbagai wilayah di Indonesia. Setidaknya ada 33 ribu wilayah perdesaan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dan kawasan perizinan pertambangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan desa ekologi, lanjut Abet, setidaknya akan menjelaskan posisi hukum akan hak tanah ulayat milik desa. Kesadaran dan pengakuan atas tanah ulayat ini pada gilirannya akan membuat warga desa sadar hak mereka dan berusaha menjaga melestarikannya.
"Selain itu dengan program desa ekologis pemerintah melalui Kemendesa PDTT bisa ikut menjaga kesinambungan ekologis di wilayah perdesaan," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Marwan Jafar, mengajak WALHI membantu penyelesaian konflik SDA (Sumber Daya Alam) di desa. Pasalnya, sebagian besar penguasaan dan pemanfaatan wilayah kelola rakyat hingga saat ini bukan dilakukan oleh desa.
"Kemendes PDTT bisa menjadi konsolidator untuk menyelesaikan konflik antara desa dengan kawasan hutan ini. Harapannya WALHI dapat membantu kami untuk bisa secara bersama-sama menjawab tantangan ini," ujarnya.
Menurutnya, konflik antara desa dengan kawasan hutan telah mempunyai kanal dalam kebijakan nasional. Hal tersebut dilakukan melalui mekanisme Perhutanan Sosial Hutan Desa, Hutan Rakyat serta Hutan Kemasyarakatan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan konflik antara Desa dengan korporasi perkebunan dan pertambangan menurutnya, belum ditemukan sistem yang efektif.
"Tantangan berikutnya adalah Mendorong kemungkinan payung hukum, untuk menghadirkan dan menguatkan konsekuensi hukum berbasis regulasi desa terhadap penjarahan SDA dan pengerusakan lingkungan," beber Marwan.
Marwan juga mengatakan, desa sebagai unit terkecil telah menjadi ujung tombak pemerintahan. Tak jarang, desa dihadapkan dengan situasi untuk menerima keputusan perizinan eksploitasi sumber daya alam dari pemerintah. Sedangkan risiko, dampak dan beban lingkungan yang akan menimpa dirasakan oleh masyarakat desa.
"Tanpa tertulis, sesungguhnya batas toleransi komunitas atas perubahan lingkungan hidup telah ada sejak mereka memulai menerapkan aturan lokal tentang tata cara dipemanfaatan sumber daya alam. Karena garis pembatas itulah, ribuan komunitas di Indonesia bertahan memepertahankan daya dukung lingkungan," terangnya.
(tfq/Hbb)