Jakarta - Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution dicokok KPK saat transaksi uang siluman dengan pengusaha pada Kamis (21/4) kemarin. Tangkapan ini menggiring KPK untuk menggeledah rumah pribadi dan ruang kerja Sekjen MA Nurhadi. Belakangan, KPK juga mencegah Nurhadi ke luar negeri untuk kepentingan penyidikan.
Dalam catatan detikcom, Minggu (24/4/2016), penangkapan ini mengingatkan saat delegasi Jepang mengunjungi kantor PN Jakpus itu di Jalan Bungur Raya, Jakarta pada 17 September 2015. Delegasi dari Jepang terdiri dari kalangan akademisi, pengusaha dan praktisi hukum yang ingin mengetahui proses persidangan niaga khususnya hak kekayaan intelektual (HKI).
Dalam kunjungannya itu, mereka mengaku kagum dengan proses penyelesaian sengketa HKI di Indonesia yaitu proses penyelesaian HKI yang melibatkan sidang merek, desain industri, hak cipta, di Indonesia termasuk cepat.
 Delegasi Jepang mengunjungi PN Jakpus (rivki/detikcom) |
"Mereka kagum karena penyelesaian sengketa persidangan HKI cuma butuh waktu tiga bulan di Indonesia," ujar humas PN Jakpus, Bambang Kustopo kala itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Jepang sendiri untuk menyelesaikan sengketa HKI membutuhkan waktu satu sampai dua tahun. Menurut Bambang kecepatan proses tersebut berdasarkan UU Hak Cipta, UU Merek dan UU Desain Industri. Hasil kunjungan ke PN Jakpus akan disampaikan ke pemerintahan Jepang untuk mencontoh sistem peradilan HKI di Indonesia yang berlangsung cepat.
"Mereka menyampaikan juga ada beberapa negara yang tidak sampai satu tahun penyelesaian sengketa HKI nya tapi di Indonesia lebih cepat," ujar Bambang.
Ternyata sistem yang dibangun pengadilan Indonesia itu memiliki masalah serius yaitu integritas aparatnya. Lima bulan berselang usai kunjungan delegasi Jepang itu, KPK mencokok Edy dan menggeledah ruang kerja Edy di lantai 4 PN Jakpus. Dua bulan sebelumnya, KPK menangkap tangan Kasubdit MA Andri Tristanto Sutrisna dengan bukti sekoper uang.
"Ini masalah integritas. Gaji dan remunerasi mereka sudah tinggi, negara sudah memberikan fasilitas berlebih. Dulu selalu beralasan karena gajinya rendah, tapi sekarang malah sebaliknya. Gaji tinggi malah menjadi alasan untuk menaikkan harga: mau nyogok berapa sekarang? Ini sangat memprihatinkan," kata ahli hukum pidana Prof Hibnu Nugroho.
(asp/erd)