Kritik itu antara lain datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). "DPR pada saat merumuskan revisi UU Pilkada tertutup di sebuah hotel. Lebih mengesankan DPR hanya merumuskan poin-poin yang menjadi kepentingan mereka saja, atau sudah ada nyetir revisi UU tersebut," kata peneliti Perludem Fadli Ramadhanil di acara diskusi yang digelar oleh Koalisi Pilkada Berintegritas di Jalan Gandaria Tengah III nomor 12, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (24/4/2016).
Menurut Roy Salam dari Indonesia Budget Center (IBC) karena UU Pilkada ini sifatnya hanya revisi, mestinya DPR bisa transparan dalam pembahasannya. Dengan transparan akan menghilangkan kesan bahwa pembahasan revisi UU ini dimotori oleh kepentingan individu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erika dari Rumah Kebangsaan berharap pembahasan revisi UU Pilkada bisa dilakukan secara terbuka demi menghindari lobi-lobi untuk kepentingan sesaat. "Kami berharap pembahasan revisi UU Pilkada lebih terbuka. Kami ingin menghindari dari pembahasan lobi-lobi dan kepentingan sesaat," kata dia.
(erd/erd)











































