"Secara basic kita hampir sama dengan pemerintah, seperti soal ambang batas. Tapi kami ada usulan soal calon tunggal, mungkin ada beberapa daerah yang demokrasinya bisa mencapai aklamasi agar dihargai juga," ungkap anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Diah Pitaloka saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (24/3/2016).
Poin ini menjadi penting menurut Diah sebab pada Pilkada serentak 2015 lalu, ada beberapa daerah yang terpaksa tidak bisa mengikuti pilkada karena calon kepada derah tidak memiliki pesaing. Padahal dalam demokrasi F-PDIP menilai ada beberapa daerah yang berpotensi mendapatkan hasil aklamasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun poin ini menurutnya dimasukkan dalam kerangka bahwa parpol harus menyediakan calon. Dalam draf memang sempat ada ayat yang menyatakan akan memberi sanksi bagi parpol jika tidak mengusung calon kepala daerah, namun akhirnya dihapuskan.
"Padahal pilkada ini kan enggak selalu kompetisi. Pilkada kan mencapai kepemimpinan daerah dari suatu mekanisme demokratis. Itu pemilihan. Demokratis kita kan demokratis partai, kalau itu (semua parpol) hanya memutuskan satu calon, kenapa tidak? Misalnya si A ketokohannya bagus," jelas Diah.
Jika ini tidak diakomodir, menurutnya akan bahaya sebab nantinya justru akan ada cara-cara tidak sehat yang membangun lawan untuk calon kepala daerah tunggal secara tidak natural. Selain itu hal lain yang masih digodok dalam revisi UU Pilkada disebut Diah adalah terkait money politic.
"Ini masih menggantung, belum putus. Semangatnya sudah bagus, tapi implementasinya agak tidak mudah. Bagaimana sanksi-sankinya itu kan dibatalkan dll, tapi harus dilihat lagi. Tapi memang ada will dari teman-teman untuk megurangi perbuatan money politic dan patut diapresiasi," ujarnya.
Komisi II disebutnya juga masih harus mendapat masukan dari masyarakat. Sebab soal money politic, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat sebagai pemberi mandat kepada calon baik dari independen maupun yang diusung parpol.
"Masyarakat harus juga punya semangat yang sama untuk kasus money politic, karena selama ini masih pragmatis. Kalau engggak ada uang, nggak ada yang milih. Masyarakat harus memiliki tekad yang sama untuk mengurangi money politic. Kita tahu 2 pemilu ini kan money politic jadi warna," tutur Diah.
Padahal banyak ditemukan dalam pilkda, calon-calon yang sangat berpotensi namun akhirnya tidak bisa maju karena nihil modal. Termasuk calon kepala daerah wanita.
"Misalnya seorang perempuan tapi enggak punya uang, padahal potensi kepemimpinannya ada. Padahal aku salut sama perempuan-perempuan yang bisa memenangkan pilkada," ucap dia.
Diah pun mengapresiasi calon-calon kepala daerah wanita yang akhirnya bisa memenangkan pentas demokrasi. Ia melihat saat ini kepemimpinan di daerah tumbuh dengan banyaknya wanita yang terpilih menjadi kepada daerah. Seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma), Wali Kota Bontang Neni Moernaeni, dan Bupati Karawang Cellica Nuracahadiana.
"Bupati Karawang ini kan awalnya PAW, saya sempat ragu juga karena Karawang daerah yang susah, tempat industri. Ternyata perempuan bisa juga menang di sana," beber Diah.
"Atau kayak Risma, lepas dari ketergantungan perempuan harus tampil menarik. Kan Risma meerupakan sosok ibu-ibu, biasa aja, cenderung sederhana, tidak yang penuh merek. Tapi buktinya sangat populer," lanjut legislator asal Dapil Jabar ini.
Diah lalu berharap agar ke depan pimpinan daerah semakin lebih banyak lagi yang datang dari kaum wanita. Meski dalam revisi UU Pilkada tidak dapat mengakomodir dari segi kuota, ia berharap wanita bisa semakin eksis di daerah.
"Aku senang lah kalau lihat ada perempuan maju. Secara kultural kan butuh kekuatan lebih dari laki-laki. Dia harus melawan stigma masyarakat bahwa perempuan itu di bawah laki-laki dalam memimpin dan kita bisa melihat faktanya, beberapa bisa mengatasi itu," tutup Diah. (elz/dha)











































