Menkum HAM Yasonna Laoly menuding PP nomor 99 tahun 2012 tentang remisi bagi warga binaan menjadi faktor munculnya kerusuhan di Lapas Banceuy. Hal tersebut dinilai tidak relevan.
Yasonna menyatakan penumpukan warga binaan di lapas akibat aturan dalam PP itu. Ini dikatakannya saat meninjau Lapas Banceuy Bandung usai kerusuhan akibat amukan para napi. Dalam PP tersebut memang mengatur ketat remisi bagi narapidana yang dipidana melakukan terorisme, narkotika, korupsi, dan kejahatan luar biasa lainnya.
"Tidak bisa begitu cara berpikirnya. Setiap orang kalau ada yang tidak disukai pasti rusuh," ungkap Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainal Arifin Mochtar, saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (23/4/2016) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Orang yang mau kerja sama, mau membongkar kasus dengan baik dan tidak menyembunyikan fakta, akan diberi. Seperti whistle blower. Itu wajar. Maka jangan dikatakan ada korelasinya (PP dengan kerusuhan di lapas)," ucapnya.
Menurut Zainal, pembatasan remisi bukan faktor dari kerusuhan yang terjadi di Lapas Banceuy. Meski tidak menutup kemungkinan over kapasitas di lapas ada kaitannya dengan kasus-kasus kerusuhan.
"Kalau mau hilang penumpukan, kurangi saja sekalian waktu hukuman, kalau dia (Yasonna) mau. Kalau dikurangi kan berkurang (kapasitas napi), tapi kan bukan itu logikanya. Bukan karena ada penumpukan," sindir Zainal.
"Tidak berkaitan langsung. Bukan itu problemnya," sambungnya.
Kelebihan kapasitas di lapas yang disebut sebagai penyebab tawuran dinilai Zainal tidak serta merta bisa ditangani dengan pemberian remisi. Belum tentu penumpukan di lapas merupakan satu-satunya faktor.
"Kalau maka dikasih aja atau obral remisi, enggak ada efek jeranya. Harus dilihat secara detail, koruptor bagaimana cara bangun efek jeranya supaya tidak ada lagi yang mau jadi koruptor," beber Zainal.
Menkum HAM menyatakan akan mengkaji PP nomor 99 tahun 2012 sebab dinilai banyak menimbulkan masalah. Zainal sepakat soal pengkajian yang harus dilakukan secara berkala, tapi bukan berarti obral remisi bisa menjadi jawaban dari setiap kerusuhan yang ada di lapas.
"Namanya peraturan memang harus dikaji. Tapi jangan pakai logika ujug-ujug kesimpulan ke situ. Jangan karena ada demo PP diubah dan orang bisa dengan mudah dapat remisi," tutur dia.
"Kalau begitu logikanya, ayo lebih baik kita rusuh terus saja. Misalnya, tahanan teroris tidak suka dengan program deradikalisasi, kasih rusuh di lapas lalu deradikalisasi dibatalkan juga, tidak begitu kan (seharusnya) cara berpikirnya," imbuh Zainal.
Sebelumnya Menkum HAM Yasonna Laoly mengatakan kerusuhan di lapas, dalam hal ini kejadian di Banceuy yang dipicu dengan tewasnya seorang napi, merupakan buntut dari kekecewaan tidak adanya remisi. Dengan adanya banyak penumpukan napi, menurutnya jika ada sedikit pemicu maka kerusuhan pun lansung meledak.
"Bayangkan bertahun-tahun di sini (ditahan) tapi tidak ada harapan. Mau berbuat baik atau jelek, toh tidak dapat remisi. Ya sudah berbuat rusuh saja," tukas Yasonna, Sabtu (23/4).
Seperti diketahui, aturan pemberian remisi bagi napi korupsi, terorisme, dan narkotika diperketat dengan diterbitkannya PP nomor 99 tahun 2012. Dalam PP tersebut, Pasal 34A berbunyi;
Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme. (elz/dhn)











































