Administrasi Pulau Tunda sendiri masuk berada di Kecamatan Tirtayasa, hanya saja beda kecamatan dengan Desa Lontar. Ada satu Desa atau kelurahan di Pulau Tunda, yakni Kelurahan Warga Sara. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Jika cuaca cerah, Pulau Tunda bisa dilihat dari Desa Lontar.
Penyedotan sendiri bukan hanya dilakukan kapal-kapal milik perusahaan di sekitar Pulau Tunda. Ada kapal penyedot pasir yang juga beroperasi di sekitar Perairan Lontar, hanya sekitar 2 mil dari bibir pantai dekat permukiman warga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kami tidak ada dapat CSR. Memang ada ditawari uang Rp 100 ribu tapi disuruh tanda tangani surat perjanjian," ungkap perwakilan Nelayan, Farori, saat mendatap kunjungan dari rombongan Komisi IV DPR.
Menurut Farori, uang perjanjian ini ditawarkan kepada seluruh warga di Desa Lontar dengan besaran satu KK mendapat Rp 100 ribu. Tapi mereka diminta menyetujui agar tidak mempersulit perpanjangan izin penambangan. Sebab memang operasional penyedotan pasir kerap mendapat perlawanan dari nelayan setempat.
"Per KK suruh tanda tangan nanti dapat Rp 100 ribu. Untuk perpanjang izin itu yang habis bulan ini. Uang dari perusahaan, PT Jetstar. Kalau saya menolak," kata Farori.
Anggota Komisi IV Rahmad Handoyo yang mendengar keluhan warga nelayan memastikan apakah Farori cs benar-benar tidak menerima uang itu. "Bapak bener enggak terima?" tanyanya.
"Memang ada pak yang terima sebagian. Tapi kebanyakan yang terima itu orang-orang darat, hanya tertentu saja. Saya Demi Allah enggak ambil," ujar perwakilan nelayan lainnya, Marsyad.
Marsyad pun menyatakan, pemberian uang oleh para pengusaha itu merupakan bentuk pembodohan terhadap warga. Para warga nelayan yang sudah sering protes disebut Marsyad tak pernah mendapat tanggapan serius dari Pemda Banten.
Padahal akibat penyedotan, nelayan merasakan tangkapan ikannya berkurang drastis. Marsyad juga merasa geram sebab pembagian 'uang damai' itu disalurkan dari aparat desa.
"Disinyalir ada kerja sama. Kenapa pemerintah daerah melakukan membiarkan. Kami minta diaudit forensik. Kami mayoritas nelayan enggak menerima, yang terima orang darat (bukan nelayan). Selama ini pembodohan," tukasnya.
Kekesalan bukan hanya datang dari para nelayan. Para istri nelayan bercerita dengan nada histeris bahwa mereka kerap didatangi untuk mengisi surat perjanjian.
"Yang bagi-bagi uangnya dari RT, sama dari PPAD. Kalau nelayan enggak mau. Dimintai fotokopi KTP sama KK. Ngapain kita ambil? Cuma dikasih uang Rp 100 ribu, kalau ke laut dapat Rp 500 ribu. Sekarang suami saya 5 hari enggak dapat apa-apa," ucap Ibu Sap dengan nada marah.
Komisi IV DPR berjanji akan menindaklanjuti temuan ini dan meminta pertanggungjawaban dari pihak pemerintah. Perwakilan Kemeterian Kelautan dan Perikanan yang juga ikut dalam rombongan menyatakan akan membawa data yang ditemukan di lapangan tersebut kepada tim investigasi Reklamasi Teluk Jakarta.
Sebelumnya Camat Tirtayasa Elan Apandi mengatakan, alih-alih menimbulkan kerusakan ekosistem, pengerukan pasir justru meningkatkan kesejahteraan warganya karena ada kompensasi CSR. Warga juga mendapat bantuan fasilitas lainnya dari pihak perusahaan.
"Per 1 juta kubik itu mereka bisa mendapatkan Rp 1 miliar CSR-nya. Jadi kan per kubiknya masyarakat dikasih Rp 1.000 oleh perusahaan," terang Elan saat berbincang dengan detikcom, Rabu (7/4).
(elz/bag)