"Kami sering ke sana, usir kapalnya biar enggak beroperasi," ungkap salah seorang nelayan saat mendapat kunjungan dari rombongan Komisi IV DPR di Tempat Pelelangan Ikan Desa Lontar, Rabu (20/4/2016).
Kapal yang beroperasi dengan jarak 2 mil dari bibir pantai Desa Lontar disebut Marsyad adalah milik PT Jetstar dengan nama Queen of the Nederlands. Tampaknya kapal itu menjadi momok tersendiri bagi warga. Maka tak jarang para nelayan datang berbondong-bondong dengan kapal kecil mereka mendekati kapal penyedot pasir itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai cara dilakukan oleh para nelayan untuk membuat Queen of The Nederlands meninggalkan Perairan Lontar. Mulai dari melempar batu, hingga memepetnya.
"Kalau mereka datang, kita kejar lagi. Tapi kadang mereka ada yang nyemprot air. Kita pokoknya ngusirnya jangan sampai dia melakukan (menyedot pasir) karena nelayan kan tebar jaring di situ. Jaring kesedot," tutur Marsyad.
"Sepanjang masih beroperasi kita akan terus usir. Alat tangkap kita kena. Mereka ada di zona penambangan," sambung nelayan Lontar lainnya, Farori.
Akibat penyedotan pasir itu, para nelayan mengaku kekurangan penghasilan karena ikan semakin jarang mereka temukan di wilayah Perairan Lontar. Tak hanya ikan semakin minim, nelayan menyebut akibat penyedotan pasir menyebabkan abrasi yang cukup tinggi di pesisir pantai. Sebab tanah di bibir pantai menjadi longsor akibat penyedotan pasir laut.
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti ikut hadir dalam kunjungan Komisi IV ke Desa Lontar. Ia masih belum bisa memastikan apakah aktivitas pengambilan pasir berdampak pada biota laut dan lingkungan di sekitarnya.
"Aku mesti cek, yang keluarkan izin kan bukan kita. Kalau ada izin biasanya diatur koordinatnya. Ini izinnya di pertambangan, di ESDM," terang Brahmantya di lokasi yang sama. (elz/bag)