Ini Harapan Akademisi dan Budayawan dalam Simposium Membedah Tragedi 1965

Ini Harapan Akademisi dan Budayawan dalam Simposium Membedah Tragedi 1965

Bisma Alief - detikNews
Senin, 18 Apr 2016 21:36 WIB
Romo Franz Magnis Suseno di Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 (Foto: Bisma Alief/detikcom)
Jakarta - Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 dihadiri oleh sederet tokoh dari berbagai profesi. Mereka berharap acara ini bisa membuka kebenaran sejarah di Indonesia. Negara juga diminta untuk minta maaf kepada para korban tragedi tersebut.

Akademisi dari Australian National University, Ariel Herianto menilai negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas banyaknya korban di tragedi 1965. Dalam hipotesanya, apabila konflik di tahun 1960-an tidak ada unsur negara di dalamnya, korban hanya akan berjumlah puluhan sampai ratusan orang. Ribuan orang yang mati akibat tragedi 1965 adalah bukti hadirnya negara dalam tragedi tersebut.

"Padahal tugas negara untuk menjaga supaya tidak terjadi konflik secara fisik. Negara jangan sampai turun tangan dalam konflik," ujar Ariel di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Negara harus dibedakan dengan pemerintah. Pemerintah bisa datang dan pergi bisa berganti kapan saja, tapi negara tetap. Maka yang harus minta maaf adalah negara," sambungnya.

Akademisi Ariel Herianto di Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 (Foto: Bisma/detikcom)


Sementara itu, budayawan Romo Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa tragedi 1965 adalah tragedi kemanusiaan yang harus diangkat ke permukaan. Dengan demikian, masyarakat bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi saat itu.

"Simposium ini merupakan awal yang baik. Kesimpulan tragedi pembunuhan dan kejahatan dan tragedi kemanusiaan bisa diangkat. Masyarakat dan bangsa Indonesia bisa melihat, pemerintah harus membuka kebenaran soal rekonsiliasi ini," ujar Romo Magnis

Dalam kesempatan yang sama, Steering Committee Internasional People's Tribunal (IPT) 1965, Reza Muharam mengajukan 3 rekomendasi yang bisa diambil dari acara simposium nasional ini. Yang pertama adalah semua teror yang ditujukan kepada para korban tragedi 1965 harus dihentikan. Kedua, semua Undang-undang diskriminatif kepada para korban harus dicabut, karena itu merupaka dosa yang diwariskan dan masih berlanjut sampai sekarang.

"Terakhir, simposium harus memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti bersama Komnas HAM dalam upaya mengungkap kebenaran," tutupnya. (imk/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads