Akademisi dari Australian National University, Ariel Herianto menilai negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas banyaknya korban di tragedi 1965. Dalam hipotesanya, apabila konflik di tahun 1960-an tidak ada unsur negara di dalamnya, korban hanya akan berjumlah puluhan sampai ratusan orang. Ribuan orang yang mati akibat tragedi 1965 adalah bukti hadirnya negara dalam tragedi tersebut.
"Padahal tugas negara untuk menjaga supaya tidak terjadi konflik secara fisik. Negara jangan sampai turun tangan dalam konflik," ujar Ariel di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akademisi Ariel Herianto di Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 (Foto: Bisma/detikcom) |
Sementara itu, budayawan Romo Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa tragedi 1965 adalah tragedi kemanusiaan yang harus diangkat ke permukaan. Dengan demikian, masyarakat bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
"Simposium ini merupakan awal yang baik. Kesimpulan tragedi pembunuhan dan kejahatan dan tragedi kemanusiaan bisa diangkat. Masyarakat dan bangsa Indonesia bisa melihat, pemerintah harus membuka kebenaran soal rekonsiliasi ini," ujar Romo Magnis
Dalam kesempatan yang sama, Steering Committee Internasional People's Tribunal (IPT) 1965, Reza Muharam mengajukan 3 rekomendasi yang bisa diambil dari acara simposium nasional ini. Yang pertama adalah semua teror yang ditujukan kepada para korban tragedi 1965 harus dihentikan. Kedua, semua Undang-undang diskriminatif kepada para korban harus dicabut, karena itu merupaka dosa yang diwariskan dan masih berlanjut sampai sekarang.
"Terakhir, simposium harus memberi rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti bersama Komnas HAM dalam upaya mengungkap kebenaran," tutupnya. (imk/imk)












































Akademisi Ariel Herianto di Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 (Foto: Bisma/detikcom)