Langkah pertama, menurut pakar hukum Bayu Dwi Anggono, adalah mengumpulkan seluruh barang sitaan dan barang rampasan di bawah satu komando yaitu Kementerian Hukum dan HAM dan secara teknis dilaksanakan oleh Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (Rupbasan). Baik dari kasus korupsi, kehutanan, pencurian ikan, pemerkosaan, penipuan, pembunuhan hingga kasus-kasus ITE.
"Hal ini sesuai dengan Pasal 44-46 KUHAP yang pada pokoknya mengatur tentang kewajiban semua benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan)," kata Bayu saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/4/2016).
![]() |
Saat ini, barang-barang sitaan dan barang rampasan itu tersebar di berbagai instansi. Seperti polisi, kejaksaan dan penyidik PNS. Beberapa anakan aturan tersebut lahir secara sektoral, seperti:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
2. Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE 008/J.A/10/1985 tentang Petunjuk Cara Penanganan, Pengadministrasian dan Penyelesaian Barang Rampasan.
3. Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP 089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan
4. Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian RI.
"Empat peraturan di atas kurang tepat karena sesuai Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 disebutkan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Dengan demikian suatu peraturan menteri tidak mungkin memuat materi yang kategorinya lintas urusan antar kementerian/lembaga, mengingat jika sudah lintas urusan merupakan materi muatan peraturan presiden. Selain itu, peraturan di atas merupakan kategori peraturan internal atau peraturan kebijakan (beleidsregel) dan bukan kategori peraturan perundang-undangan," papar Bayu.
![]() |
Sehingga dibutuhkan langkah kedua yaitu merevisi regulasi yang telah ada, di mana Pasal 44 KUHAP belum memiliki peraturan pelaksana yang terperinci dan jelas dan hanya disinggung sepintas lewat Peraturan Pemerintah Nomor 27/1983.
"Perihal Rupbasan dalam PP 27/1983 masih berkutat seputar pelaksanaan atau penjabaran lebih lanjut Pasal 44 KUHAP. Sementara Penjabaran pasal 45 dan Pasal 46 yang tidak kalah pentingnya belum terakomodir dalam PP 27/1983. Ketiadaan penjabaran Pasal 45 dan Pasal 46 dalam PP 27/1983 sangat potensial menyebabkan ketidakjelasan implementasi Pasal 45 dan Pasal 46 KUHAP," papar Bayu.
Bayu mencontohkan tentang pengaturan mekanisme lelang tidak diatur tegas. Kemudian kualifikasi benda sitaan apakah masuk kategori dapat lekas rusak atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi.
Contoh lain yaitu sejauh mana keterlibatan Rupbasan dan Kementerian Keuangan terhadap penjualan lelang oleh penyidik atau penuntut umum terhadap benda sitaan yang memenuhi kategori benda sitaan yang termasuk dapat lekas rusak atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi.
"Disimpan di kas siapakah uang hasil penjualan lelang itu, hasil bunga dari simpanan itu, bagaimana mekanisme penyerahan uang ke kas negara dan bagaimana mekanisme pengembalian benda sitaan kepada yang berhak apabila penyidik tidak memerlukan lagi karena tidak cukup bukti," ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu memaparkan banyak kejanggalan yang belum terjawab dalam regulasi yang ada sekarang ini.
![]() |
Oleh sebab itu, menurut Bayu, sudah saatnya Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur berbagai masalah di atas. Gara-gara sengkarut di atas, pengelolaan barang sitaan dan barang rampasan itu tidak terurus dengan baik. Alih-alih mempertahankan nilai barang yang disita, benda yang dirampas itu akhirnya mengalami penyusutan harga yang sangat tinggi sehingga tujuan penyitaan dan perampasan yaitu memulihkan aset tidak tercapai.
"Dengan demikian mengingat PP 27/1983 yang di dalamnya mengatur mengenai Rupbasan perlu dilaksanakan yang dalam pelaksanaannya perlu dijabarkan lebih lanjut mengingat terdapat kekuranglengkapan pengaturan maka Perpres dapat menjadi solusi yang rasional," cetus Bayu.
Poin-poin materi di atas telah disampaikan kepada Dirjen Pemasyarakatan I Wayan K Dusak dan Dirjen Peraturan Perundangan (PP) Prof Widodo Eka Tjahjana, Kamis (14/4) kemarin. Ikut memberikan pandangan dalam Focus Group Discussion itu perwakilan Institute Criminal Justice System (ICJR) Anggara, perwakilan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting, akademisi Universitas Andalas, Lucky Raspati, guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Prof Adji Samekto dan guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof Hartiningsih. Atas usulan-usulan itu, Kemenkum HAM sedang meminta izin prakarsa kepada Presiden Joko Widodo untuk membuat regulasi baru atas permasalahan di atas.
Gagasan ini timbul usai sidak Dirjen Pemasayarakan dan Dirjen PP ke Rupbasan pekan lalu. Banyak barang bukti berbagai kasus dibiarkan terbengkalai dan menjadi besi tua di Rupbasan Jakarta Timur/Jakarta Pusat. Seperti mobil pemadam kebakaran yang dirampas dari kasus mantan Menteri Hari Sabarno dibiarkan 9 tahun teronggak hingga karatan dan rusak di sana-sini. Yang paling mencolok adalah 15 truk molen sitaan dari kasus korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Ada juga mobil mewah sitaan dari Akil Mochtar dan Ahmad Fathonah.
![]() |
|
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini