Usulan Kenaikan Gaji DPR (2)
Konstituen Tak Butuh Senyum Saja
Kamis, 17 Mar 2005 08:05 WIB
Jakarta - Meski dikritik, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR tetap mengajukan usul kenaikan gaji anggota dewan. Alasan paling mencolok, memenuhi kebutuhan konstituen.Komponen gaji anggota DPR terdiri dari gaji pokok dan berbagai tunjangan. Gaji pokok seorang anggota DPR sebesar Rp 4.200.000. Jumlah ini setara juga dengan gaji pokok anggota MPR, BPK dan MA.Berbagai tunjangan yang mereka miliki adalah, tunjangan keluarga dengan perincian tunjangan istri (10 persen X gaji pokok), tunjangan anak (2 persen dari gaji pokok), tunjangan jabatan Rp 7.560.000, tunjangan khusus Rp 3.005.583. Setelah dipotong pajak dan berbagai hal lainnya, penghasilan anggota DPR sekitar Rp 12.714.400.Namun jumlah tersebut masih ditambah lagi dengan berbagai fasilitas yang dimiliki mereka. Misalnya, uang sidang, uang paket dan biaya perjalanan. Untuk persidangan biasa Rp 150 ribu per kasus. Komunikasi intensif Rp 3 juta per bulan, uang saku selama masa reses Rp 150 ribu per hari, uang paket Rp 750 ribu.Mereka juga mendapatkan dana untuk membayar seorang asisten pribadi Rp 2 juta per bulan. Selanjutnya fasilitas rumah jabatan, biaya rumah tangga dan kendaraan dinas. Untuk listrik, air dan telepon, Rp 2 juta per bulan, anggaran pemeliharaan Rp 2.500.000. Transportasi (dibayar per tahun) Rp 5.380.000 per bulan. Mereka juga memiliki fasilitas kredit mobil Rp 5.800.000 per bulan.Memang jika dibandingkan pejabat negara setingkat menteri, penghasilan anggota DPR itu masih lebih kecil. Pendapatan bersih seorang menteri adalah Rp 19.107.800, belum ditambah berbagai tunjangan dan fasilitas lainnya. Sebagai contoh, untuk perjalanan dinas dalam negeri seorang menteri mendapat uang saku Rp 320.000 per hari dan uang representasi Rp 400 ribu per hari. Sedangkan untuk perjalanan dinas luar negeri, jumlah uang saku yang mereka peroleh sebesar US$ 280 per hari dan uang representasi US$ 400 per hari.Salah seorang anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) AM Fatwa menyatakan, penghasilan yang diterimanya hanya cukup untuk hidup sederhana. Sementara untuk keperluan operasional dan meningkatkan sumber daya anggota dewan, seperti membayar seorang staf ahli, jumlah tersebut masih sangat terbatas.Apa lagi jika dikaitkan dengan pembinaan para konstituen, dengan dana yang ada hal itu terkadang sulit dilakukan. Padahal, kata Fatwa, selaku anggota DPR mereka wajib melayani para konstituen yang menyebabkan mereka bisa duduk di parlemen. Repotnya, sambung Fatwa, terkadang para konstituen tidak bisa menerima penjelasan mengenai minimnya dana yang dimilikinya."Perhatian itu bukan hanya senyum saja. Kalau kita memberikan seadanya banyak yang salah paham, kok pejabat tinggi negara hanya memberi segini. Yang namanya proposal itu bertumpuk di lemari dan tidak bisa membalasnya. Kita jawab orang tidak percaya. Saya pernah ditegor dari jauh karena staf saya menjawab di sini tidak anggaran untuk itu dan mereka marah," ungkap Fatwa.Fatwa juga mengatakan, kenaikan gaji Rp 10 juta hingga Rp 15 juta yang diajukan BURT bukan jumlah yang cukup besar. Terlebih jika melihat gaji atau pendapatan para pejabat di BUMN yang nilainya bisa ratusan juta rupiah. Padahal dari sisi tanggung jawab, jabatan politik seperti menteri dan anggota DPR, memiliki porsi yang jauh lebih besar.Hal senada disampaikan Ketua FPKS DPR, Untung Wahono. Menurut Untung, pemerintah saat ini hanya menyediakan 5 staf ahli untuk 45 anggota dewan. Idealnya satu anggota dewan memiliki satu orang staf ahli. Itu artinya tiap anggota DPR harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar gaji sekitar Rp 5 juta perbulan.Hal ini tentu saja agak memberatkan anggota dewan. Apalagi gaji mereka itu juga harus dipotong untuk keperluan partai dan pembinaan konstituen daerah pilihan mereka. Seperti Fatwa, Untung juga mengaku kerap kerepotan ketika para konstituennya meminta sumbangan untuk berbagai keperluan.Namun demikian, Untung mengakui momentum usulan kenaikan gaji anggota dewan ini kurang tepat. Selain bersamaan dengan kenaikan harga BBM, masyarakat juga masih menilai kinerja dewan masih kurang maksimal. Di sisi lain, UU yang mengatur mengenai kenaikan gaji juga belum jelas. Salah-salah, mereka bisa dituduh korupsi seperti anggota DPRD di sejumlah daerah.
(djo/)