"Profesi terlapor sebagai hakim saja telah menjadi 'beban' tersendiri bagi terlapor untuk tidak diperbolehkan sedikit pun melanggar kode etik," kata juru bicara KY Farid Wajdi kepada detikcom, Kamis (14/4/2016).
Falcon saat ini bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Muara Teweh, Kalimantan Tengah (Kalteng). Kasus yang menjeratnya adalah saat ia bertugas di PN Kasongan, Kalteng, pada 2014. Hakim kelahiran tahun 1981 itu ternyata aktif meminta sejumlah uang ke pihak berperkara, salah satunya adalah kasus yang terungkap yaitu ia menerima Rp 15 juta dari pihak yang tengah diadilinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Falcon dipecat di hadapan MKH yang terdiri dari Joko Sasmito, Farid Wajdi, Sukma Violetta, Sumartoyo, hakim agung Irfan Fachrudin, hakim agung Amran Suadi dan hakim agung Ana Samiati. Sidang MKH ini atas usulan Komisi Yudisial (KY).
"Ke depan, penegakan kode etik jelas harus lebih konsisten. Negara ini diurus tidak hanya dengan perasaan tapi juga ketegasan, sementara mengenai putusan MKH sebelumnya tidak pada tempatnya kami komentari," papar Farid.
Keputusan MKH ini terbilang berat. Pada MKH sebelumnya, banyak yang menerima suap tetapi hanya diskorsing belaka. Seperti kasus Ketua PN Pangakalan Bun, Nuril Huda, yang menerima suap dari pengacara sebesar Rp 39 juta, hanya diskorsing 2 tahun. Begitu juga dengan hakim PN Sleman, Anton Budi Santoso, yang jual beli perkara perdata dengan tarif Rp 50 juta. Anton di kasus itu juga hanya diskorsing 2 tahun.
"Sekali lagi bahwa setiap kasus mempunyai kondisi yang berbeda. Tidak mungkin an sich sama persis," ujar Farid. (asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini