"Yang dilakukan Muhammadiyah harus dihargai dan jadi tamparan bagi kepolisian, dalam hal ini Densus 88. Bagaimana ini bisa terjadi pelanggaran, karena apapun ceritanya kalau ditahan kemudian meninggal itu pelanggaran," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (12/4/2016).
Polri sudah memeriksa petugas yang melakukan kesalahan prosedur saat mengawal Siyono. Lebih dari itu, harus ada pembenahan di Densus 88 agar tidak ada kasus yang terulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di era reformasi kita menekankan soal HAM, tapi pelanggaran HAM sekarang dianggap biasa saja," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, Siyono tewas usai ditangkap Densus 88 atas dugaan terorisme. Sang istri, Suratmi pun mencari keadilan dan dibantu oleh Muhammadiyah atas alasan kemanusiaan. Siyono bukan anggota Muhammadiyah.
Hingga akhirnya Tim Dokter Muhammadiyah melakukan autopsi pada jasad Siyono, yang selama ini memang tak pernah diautopsi. Hasilnya seperti diumumkan di Kantor Komnas HAM, Senin (11/4) bahwa ada luka akibat kekerasan di tubuh Siyono.
"Kematian Siyono ini adalah akibat dari benda tumpul yang ada di bagian rongga dada. Ada patah tulang di iga kiri sebanyak lima ke dalam, luka patah sebelah kanan, satu luka keluar," papar Komisioner Komnas HAM Siane Indriani.
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum Busyro Muqoddas kemudian mempertanyakan kinerja Densus. Salah satunya atas kematian Siyono. Menurut Busyro, Siyono belum terbukti di pengadilan sebagai teroris.
"Proses pemberantasan terorisme itu sudah berjalan 17 tahun, mengapa tidak henti-hentinya (menimbulkan korban). Ini persoalan serius," kritik Busyro yang juga mantan pimpinan KPK itu. (imk/tor)











































