"Dulu 3 tahun trauma dengar suara kereta melintas. Baru dengar saja sudah lemas dan kepala pusing. Tapi setelah dari pesantren, agak sembuh walaupun kadang-kadang masih kumat juga traumanya," kata Agus membagi kisah di bengkel servis elektroniknya, Jl Jiban, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (10/4/2016).
Namun ia tak mau lama-lama tenggelam dalam kesedihan. Seiring berjalannya waktu, Agus pun akhirnya berhasil mendapat kekuatan untuk bangkit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas bagaimana ia memperoleh motivasi untuk tidak patah semangat? Menurut Agus, peranan terbesar dalam menyembuhkan traumanya didapatkan dari orang tuanya dan salah satu pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat. Sebab di sana, ia banyak mendapat wejangan berarti dari guru-gurunya.
"Support dari orang tua. Bapak sama ibu saya luar biasa memberi support buat saya. Di tempat rehab saya dikasih wejangan sama guru di pesantren bahwa manusia di mata Tuhan itu sama, yang membedakan itu mata manusia," kata Agus.
"Kata guru saya, jangan lihat orang di atas kita tapi lihat yang di bawah kita dari segi apa yang mau kita ambil. Jadi semangat kita terus meningkat. Kalau terus lihat ke depan, kita enggak tahu di belakang ada apa. Kita itu harus seperti orang bawa mobil, harus lihat ke depan tapi sekali-kali lihat ke belakang. Itu pesan almarhum guru saya," sambungnya.
Atas proses panjang dalam proses menumbuhkan rasa kepercayaan diri, Agus berpesan kepada siapa saja yang mengalami kecacatan fisik (tuna daksa) sepertinya untuk tidak patah semangat. Sebab menurut Agus, Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan mereka seorang diri dalam keterpurukan dan kesusahan.
"Intinya kita harus semangat. Allah menjadikan kita seperti ini bukan tanpa maksud. Dulu saya enggak bisa apa-apa, sekarang bisa seperti ini. Jadi intinya semangat dan harus bisa menggali apa yang kita mau. Cari dari dalam hati kita mau dan jalani, cuma yang positif," tutup Agus. (aws/ega)