Tangan kiri Agus diamputasi karena tertabrak kereta api saat usianya menginjak 18 tahun. Akan tetapi, untuk memenuhi kebutuhan istri dan kedua anaknya sehari-hari, Agus membuka usaha servis elektronik tepi perlintasan kereta Stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dipandang sebelah mata sudah menjadi makanan sehari-harinya. Ia pun sudah tidak lagi berkecil hati saat mendapat pandangan tak percaya orang-orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran Jakarta ini setiap harinya tinggal berdempetan dengan barang-barang elektronik di kamar ruko ukuran 3x4 meter persegi. Agus mengaku dirinya tidak jarang mengalami kesulitan dalam mengangkat dan memindahkan barang berukuran besar seorang diri.
Akibatnya di tangan sebelah kanannya banyak terdapat lecet karena menahan beban barang yang diangkutnya. Meski begitu, Agus tidak mau mempermasalahkan.
"Sehari-hari saya tinggal di 'goa' ini sendiri. Kalau ada orang, saya minta tolong. Kalau lagi enggak ada orang saya sebisa mungkin harus bisa berjuang sendiri sampai tangan lecet kesabet buat mindahin barang," terangnya sambil menunjukkan lengan tangannya.
Agus mengungkapkan, istri dan kedua anaknya yang masih kecil tinggal di rumah keluarganya yang terletak di Tigaraksa, Tangerang. Setiap akhir pekan biasanya dia naik kereta untuk melepas rindu dengan keluarga kecilnya.
Ia pun memilih naik kereta commuter line untuk setiap kali pulang ke Tangerang. Nah untuk menunjang mobilitasnya, Agus kerap memasang kaki palsu sambil dipapah tongkat.
Tetapi kaki palsu itu sudah usang dan tidak jarang mengalami kerusakan. "Kaki palsu saya sudah 4 kali rusak buat naik turun tangga. Untuk betulin ke reparasi khusus, jauh di Parung. Aksesnya ke sana bagi saya mau enggak mau harus ikut ojek, harganya selangit. Jadi saya betulin seadanya paling tambal-tambal atau lem," kata dia sambil tersenyum getir.
Bagi Agus untuk naik turun anak tangga di stasiun masih menjadi hambatan. Sebab tidak mudah menyesuaikan langkah dan menjaga keseimbangan dengan tongkat yang memapahnya. Sehingga tidak jarang, dia harus 3-4 kali berhenti sebentar untuk mengatur kembali nafasnya.
Dia pun berharap PT KAI bisa lebih memperhatikan nasib para penyandang disabilitas seperti dirinya. Kebanyakan untuk memasuki stasiun di Ibu Kota harus naik turun tangga dan tidak tersedia eskalator atau lift.
"Pakai kaki palsu kayak saya berat banget naik tangga yang tinggi, bisa 3-4 kali berhenti. Sampai atas saja bisa basah keringat. Katanya disiapin buat disabilitas tapi kenapa dari peron ke atas atau turun doang, tapi dari atas ke pintu keluar itu kan tangga biasa. Minta diperhatiin lagi," keluhnya.
"Pakai tongkat juga hanya untuk orang yang rada kuat karena tinggi tangganya. Masuk ke dalam stasiunnya itu engap-engapan," tutup Agus.
Agus pernah mengenyam pendidikan di SMEAA Yaspen di Petukangan Utara, Jakarta Selatan. Kemudian usai kejadian tragis yang merenggut kedua kaki dan satu tangannya itu, Agus melanjutkan ke Pesantren Suyalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keluar dari pesantren, Agus sempat menjadi binaan di Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) Budi Bhakti di Cengkareng, Jakarta Barat. Saat detikcom mengunjungi yayasan tersebut, namun pihak pengelola tidak mengizinkan untuk mewawancarai lebih lanjut, (aws/ega)