Diceritakan Agus, kejadian nahas itu terjadi saat usianya baru 18 tahun. Masa-masa remaja itu penuh gejolak kawula muda.
Seperti remaja pada umumnya, Agus kala itu senang bergaul. Namun diakuinya, pergaulan kala itu bisa disebut jauh dari nilai-nilai positif. Agus yang menimba ilmu di SMEA Yaspen, Petukangan Utara, Jakarta Selatan kala itu kerap ikut tawuran antar pelajar dan mabuk-mabukan bersama teman-temannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak pernah terlintas dalam benak Agus untuk berubah ke jalan yang lurus. Hingga suatu ketika, semuanya berubah.
"4 September 1995 dari pasar mau pulang nyeberang perlintasan kereta tanpa palang pintu, terus saya jatuh dan kelindes kereta. Kejadiannya pas dini hari dan umur saya masih 18 tahun," terangnya.
![]() |
Melihat kejadian itu warga sekitar bersama keluarga Agus langsung membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Kondisi badannya yang parah membuat Agus sempat tak sadarkan diri.
Kedua kakinya putus di tempat. Sementara tangannya nyaris putus membuat dokter yang menangani harus mengambil tindakan amputasi. "Kaki putus langsung di tempat. Kalau tangan kiri masih nempel di kulit tapi harus diamputasi pas di RSCM," kata Agus sambil menerawang.
Mendapati kenyataan pahit itu, Agus pun tertekan dan tidak menerima keadaan. Ia juga sempat marah kepada nasib atas kejadian yang menimpa dirinya kala itu.
"Sempat ngerasa enggak waras karena suka ngomong sendiri. Enggak nerima keadaan," lirihnya.
Agus kehilangan kaki kiri mulai dari paha dan kaki kanan dari betis. Sementara tangan kirinya diamputasi dari bahu. Dengan kondisi fisiknya yang seperti itu, ia kemudian memutuskan tidak kembali lagi ke sekolahnya.
Agus merasa lebih baik melanjutkan sisa mata pelajarannya di rumah. Tak lama setelah itu, keluarga memasukkan Agus ke Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.
"Rehabnya 40 hari, selanjutnya belajar ngaji. Saya enggak hafal sama waktunya berapa lama di sana, yang jelas semenjak di sana timbul kepercayaan diri. Manusia pasti berubah, walaupun misalnya enggak kecelakaan tapi perubahan pasti ada. Alhamdulillah dari situ saya bisa menerima," urai dia.
"Ditambah lagi support dari keluarga. Ibu saya guru ngaji, kakek seorang kyai. Saya yang salah jalan," lanjut Agus.
Kini sudah tiga tahun Agus membuka usaha servis elektronik di dekat perlintasan kereta api Stasiun Kebayoran Lama. Agus menempati sebuah ruangan kecil berukuran 3x4 dengan aneka barang elektronik, seperti televisi, kipas angin dan lain sebagainya di sekitar.
Sehari-hari Agus menerima servis perkakas rumah tangga yang diminta tolong kepadanya. Untuk tarif, Agus tidak memasang terlampau tinggi dan menyesuaikan dengan jenis kerusakannya.
"Dekat kontrakan ada tanah kecil, sama saudara-saudara dari ibu dulu dibikinin saung untuk servis. Terus ada yang bikin ruko di seberang rel, saya minta satu ruang. Kebetulan ketemu orang baik, yang harusnya per bulan bayar Rp 1 juta, tapi saya cuma bayar Rp 500 ribu buat bantu kehidupan bapak," sebut Agus.
"Sehari-hari yang datang bisa sampai 3-5 orang atau sama sekali enggak ada kalau lagi sepi. Betulin kipas Rp 15 ribu upah. Kalau TV 14 inci upahnya Rp 40 ribu, TV 21 inci sebesar Rp 60 ribu dan TV 29 inci itu Rp 100 ribu, upah servisnya," pungkasnya.
Kehidupan Agus memang tidak sama seperti dulu. Namun baginya, ini lebih baik. Kehilangan anggota tubuh dijadikan sebuah momen untuk terus bekerja keras dan terus maju. (aws/mad)