"Pakai perda yang lama," kata Ahok di Ruang Terpadu Ramah Anak Dharma Suci, Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (6/4/2016).
Perda lama itu adalah Perda Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantai Utara Jakarta. Sementara raperda yang belum kunjung disahkan DPRD menjadi perda adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda Zonasi Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantau Jakarta Utara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum ada jalan keluar pasti soal bagaimana caranya mengakomodasi besaran kewajiban 15 persen ini bila tidak diwadahi dalam Raperda Rencana Kawasan Tata Ruang Pantura Jakarta. Oleh karena itu, Ahok memilih untuk menggantung perkaran besaran kewajiban ini.
"Jalan, gantung saja. Saya enggak mau kasih (besaran menjadi 5 persen). Gantung saja sampai jelas (menjadi 15 persen)," kata Ahok.
Ahok bahkan rela menunggu hingga Pemilu Legislatif 2019 menghasilkan anggota-anggota DPRD DKI baru yang bisa mengakomodasi besaran kewajiban 15 persen itu. "Kalau DPRD ngotot semuanya (tak mau mengakomodasi kewajiban 15 persen dalam raperda), tunggu 2019 ganti DPRD," ujar Ahok.
Opsi moratorium adalah pilihan yang tak mungkin diambil Ahok. Soalnya, moratorium justru menyimpan konsekuensi hukum tak simpel.
"Enggak ada kata moratorium. Moratorium bisa digugat, bagaimana?" kata Ahok.
Lagipula, soal perizinan juga menurut Ahok tak menjadi masalah. Sebagai gubernur, dia berkompeten dalam menerbitkan izin.
"Yang pasti, izin reklamasi memang pusat. Tapi pusat telah mendelegasikan kepada gubernur memberikan izin," kata Ahok.
(aan/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini