Salah satu persiapan eksekusi mati itu adalah mendata nama-nama terpidana mati. Kepada terpidana, jaksa memberikan waktu mengajukan peninjauan kembali (PK) dalam waktu 14 hari. Jika tidak menandatangani formulir tersebut dan tidak akan mengajukan PK, maka mereka dianggap menerima hukuman mati.
"Iya benar, ada edaran itu. Ada program hukuman mati makanya kita mau lapor ke pimpinan," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Sudung Situmorang kepada wartawan di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (4/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Ketika mereka tidak mengajukan, apa betul dianggap menerima hukuman mati?" tanya wartawan.
"Iya, karena kita mau eksekusi," jawab Sudung mantap.
Desakan eksekusi mati terus disuarakan publik. Di sisi lain, DPR malah mencoba memperlambat eksekusi mati dengan merevisi RUU KUHP yaitu terpidana yang berkelakuan baik bisa diperingan hukumannya menjadi seumur hidup atau malah menjadi 20 tahun penjara.
Fraksi yang menolak tegas usulan itu baru datang dari Fraksi PKS. Menurut anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, ide tersebut bisa tumpang tindih dengan fungsi grasi yang dimiliki presiden. Selain itu, kewenangan mengurangi hukuman mati juga berpeluang oknum pemerintah bermain mata.
"Ini memberikan peluang dan potensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan bagi Kementerian Hukum. Misal ada yang divonis mati, karena ingin diberikan masa percobaan dan diubah hukuman matinya kemudian 'menyuap' pihak kementerian. Jadi ini potensial disalahgunakan," papar Nasir. (asp/fdn)












































