Kejaksaan Tinggi Jakarta Proses 40 Terpidana untuk Dieksekusi Mati!

Kejaksaan Tinggi Jakarta Proses 40 Terpidana untuk Dieksekusi Mati!

Edward Febriyatri Kusuma - detikNews
Senin, 04 Apr 2016 13:22 WIB
Kejaksaan Tinggi Jakarta Proses 40 Terpidana untuk Dieksekusi Mati!
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang (rengga/detikcom)
Jakarta - Diam-diam, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyiapkan eksekusi mati gelombang ketiga. Eksekusi mati terakhir digelar pada 29 April tahun 2015.

Salah satu persiapan eksekusi mati itu adalah mendata nama-nama terpidana mati. Kepada terpidana, jaksa memberikan waktu mengajukan peninjauan kembali (PK) dalam waktu 14 hari. Jika tidak menandatangani formulir tersebut dan tidak akan mengajukan PK, maka mereka dianggap menerima hukuman mati.

"Iya benar, ada edaran itu. Ada program hukuman mati makanya kita mau lapor ke pimpinan," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Sudung Situmorang kepada wartawan di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Senin (4/4/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Strategi kejaksaan itu diambil karena banyak terpidana mati yang sengaja menunda upaya hukum PK agar tidak segera dieksekusi mati. Di tangan Kejati DKI Jakarta, nama-nama mereka sudah dipegang.
"40 kasus narkotika, putusan hukuman mati. Itu WNA, Anda-Anda sudah tahu hitam-hitam semua," ujar Sudung yang merujuk kepada para terpidana mati berkebangsaan Afrika.

"Ketika mereka tidak mengajukan, apa betul dianggap menerima hukuman mati?" tanya wartawan.

"Iya, karena kita mau eksekusi," jawab Sudung mantap.

Desakan eksekusi mati terus disuarakan publik. Di sisi lain, DPR malah mencoba memperlambat eksekusi mati dengan merevisi RUU KUHP yaitu terpidana yang berkelakuan baik bisa diperingan hukumannya menjadi seumur hidup atau malah menjadi 20 tahun penjara.

Fraksi yang menolak tegas usulan itu baru datang dari Fraksi PKS. Menurut anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, ide tersebut bisa tumpang tindih dengan fungsi grasi yang dimiliki presiden. Selain itu, kewenangan mengurangi hukuman mati juga berpeluang oknum pemerintah bermain mata.

"Ini memberikan peluang dan potensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan bagi Kementerian Hukum. Misal ada yang divonis mati, karena ingin diberikan masa percobaan dan diubah hukuman matinya kemudian 'menyuap' pihak kementerian. Jadi ini potensial disalahgunakan," papar Nasir. (asp/fdn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads