Kebijakan moratorium transhipment ini dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam Permen KP Nomor 58 Tahun 2014. Permen itu mewajibkan setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Perusahaan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Semenjak aturan ini diberlakukan, pro kontra terjadi di kalangan pengusaha ikan, pemilik kapal dan para nelayan kecil dengan muatan kurang dari 30 gross tonnage (GT). Pengusaha mengeluhkan melesunya sektor perikanan karena kebijakan moratorium transhipment.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu ada beberapa perusahaan sektor perikanan di Kendari yang disebut mengurangi jumlah kapal karena terbatasnya aktivitas perusahaan dengan diberlakukannya larangan transhipment.
(Baca juga: Dampak Moratorium Kapal Asing, Ikan Melimpah di Perairan Kendari)
"Ya di sini banyak juga anak buah kapal yang dipulangkan ke kampung halamannya," sambung dia.
Namun sebaliknya, kebijakan Susi menjadi angin segar bagi nelayan lokal yang tidak bermodal besar. Tangkapan mereka lebih banyak karena waktu melaut mereka lebih singkat dan "saingan" mereka relatif berkurang.
"Nelayan di sini makmur-makmur. Sehari di laut bisa 5 ton, 10 ton. Apalagi setelah transhipment. Rata-rata nelayan di Sultra itu makmur-makmur," tutur Budi.
"Waktu tangkapannya jadi lebih pendek, mereka bisa 5-7 hari waktunya lebih banyak dan juga nggak ada saingan dari kapal besar," sambung dia. (fdn/fdn)











































