MA Tegaskan PK Terpidana Mati Gembong Narkoba dkk Hanya Satu Kali

MA Tegaskan PK Terpidana Mati Gembong Narkoba dkk Hanya Satu Kali

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 01 Apr 2016 15:33 WIB
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta (ari/detikcom)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan judicial review para pegiat HAM untuk mencabut Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014. Alhasil, segala bentuk peninjauan kembali kasus pidana--termasuk terpidana narkoba-- hanya bisa diajukan satu kali, tidak lebih.

Kasus bermula saat Mahkamah Konstitusi (MK) membuka keran PK boleh berkali-kali lewat putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 pada 2014. Duduk sebagai pemohon adalah Antasari Azhar. MK memutuskan mengubah pasal dalam KUHAP sehingga PK bisa diajukan berkali-kali tanpa batas.

Belakangan, putusan MK itu menuai kontroversi. Sebab para terpidana mati kasus narkoba juga ikut mengajukan PK kembali sehingga terpidana mati kasus narkoba tidak bisa dieksekusi mati. Menko Polhukam Tedjo Edi kala itu mengatakan putusan MK tersebut menciptakan ketidakpastian hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Atas persoalan serius itu, MA lalu mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 di pengujung 2014. MA menegaskan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung, PK hanya dibolehkan satu kali. SEMA itu dikirim ke seluruh ketua pengadilan negeri di Indonesia untuk menolak seluruh permohonan PK yang kedua kali atau lebih. Setelah itu, Indonesia bisa mengeksekusi mati 14 terpidana mati pada Januari dan April 2015.

Belakangan, SEMA Nomor 7 Tahun 2014 itu digugat oleh pegiat HAM yaitu Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Human Rights Working Group (HRWG) dan Perkumpulan Masyarakat Setara. Kelompok ini mengajukan judicial review dengan permohonan SEMA itu dicabut. Setelah diproses, ternyata MA bergeming.

"Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," demikian lansir panitera MA dalam websitenya, Jumat (1/3/2016).

Putusan ini diketok oleh Wakil Ketua MA bidang Yudisial, M Saleh, dengan anggota hakim agung Suhadi dan hakim agung Imam Soebchi. Ketiganya mengutip UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU itu, SEMA tidak masuk bagian dari peraturan perundang-undangan sehingga SEMA tidak bisa digugat masyarakat untuk dibatalkan.

"SEMA yaitu bentuk edaran dari pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih tinggi, bersifat administrasi," demikian putus majelis.

Karena hanya bersifat edaran dan tidak mengikat ke luar (masyarakat) maka SEMA bukanlah objek hak uji materiil.

"SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang dapat diuji MA maka permohonan hak uji materiil a quo haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvenkelijke verklaard)," putus majelis pada 29 September 2015. (asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads