Hakim nonkarier dan hakim ad hoc merupakan anak kandung reformasi 1998 sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada lembaga yudikatif era Orde Baru yang menghasilkan putusan jauh dari rasa keadilan. Belakangan, mereka mulai merasa dijadikan warga kelas dua di istananya sendiri, Mahkamah Agung (MA).
Salah satu langkah sistematis itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada April 2015 yang menyatakan mereka bukanlah pejabat negara. MK menegaskan Pasal 122 huruf e UU Administrasi Sipil Negara (ASN) konstitusional yaitu berbunyi 'Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta Ketua dan Wakil Ketua dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Syamsul, putusan MK hanya mendasarkan pada penilaian metode rekrutmen hakim ad hoc semata. Tetapi tidak melihat fungsi hakim tersebut dalam mengadili dan memutus perkara yang memiliki kewenangan yang sama dengan hakim non karier. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan hakim ad hoc bukan pejabat negara karena tidak direkrut oleh DPR.
![]() |
Menurut kolega Syamsul, Prof Abdul Latif, seharusnya Pasal 122 huruf e UU ASN tersebut haruslah tunduk kepada UUD 1945 dan UU yang mengatur kekuasaan kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi. Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial berkedudukan sebagai pejabat negara.
"Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai pejabat negara ditegaskan dalam Pasal 1 angka 5 UU Kekuasaan Kehakiman. Perbedaan hakim ad hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya," papar Prof Abdul Latif yang menegaskan pasal 122 huruf e UU ASN itu disharmonisasi dengan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, dalam tugasnya mereka bekerja juga mendapat keistimewaan dalam menangani perkara korupsi. Berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), satu majelis perkara korupsi mayoritas terdiri dari hakim ad hoc. Jika majelis berjumlah 3 orang, maka 2 orang haruslah hakim ad hoc. Jika majelis berjumlah 5 orang, maka 3 orang haruslah hakim ad hoc.
"Jadi dengan demikian, sifat kedudukan pengadilan dan hakim ad hoc pada umumnya bertugas para pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya. Oleh karena itu, hakim ad hoc sama halnya dengan hakim pada umumnya, menjalankan fungsi ketatanegaraan sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara," papar Prof Abdul Latif.
Latief mencontohkan perlakuan berbeda itu terlihat dalam Laporan Tahunan MA yang biasa digelar pada awal Maret tiap tahunannya. Latief dan koleganya hadir dalam acara tersebut sebagai undangan dan tidak diperkenankan memakai toga.
Sementara para hakim agung memakai toga emas dan ikut pula para Ketua Pengadilan Tinggi memakai toga merah berkalung emas. Padahal mereka dalam memutus perkara duduk satu meja dengan yang lain dan laporan yang dibacakan Ketua MA adalah salah satunya hasil vonis yang dibuat para hakim ad hoc itu.
"Ini yang menyakitkan," kata Prof Abdul Latief. (asp/fdn)












































