Eksekusi Mati Gembong Narkoba Akan Dipersulit, DPR Bisa Koyak Kedaulatan Hukum

Eksekusi Mati Gembong Narkoba Akan Dipersulit, DPR Bisa Koyak Kedaulatan Hukum

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 31 Mar 2016 09:57 WIB
Eksekusi Mati Gembong Narkoba Akan Dipersulit, DPR Bisa Koyak Kedaulatan Hukum
Ilustrasi (ari/detikcom)
Jakarta - Rencana DPR untuk mempersulit proses eksekusi mati menuai kritik. Saat ini hukuman mati diterapkan kepada kasus korupsi, pembunuhan berencana, pelanggaran HAM, teroris, narkoba dan makar.
"Kalau rencana ini diteruskan maka bisa mengoyak kedaulatan hukum kita," kata hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun saat berbincang dengan detikcom, Kamis (31/3/2016).

Kedaulatan hukum yang dimaksud yaitu demi mengakomodir paham HAM sebagian negara, Indonesia lalu ikut-ikutan. Padahal tidak semua negara menyetujui penghapusan hukuman mati meski dengan alasan HAM.

"Di Indonesia, Pasal 28J UUD 1945 juga menyatakan HAM seseorang bisa dicabut sepanjang diatur UU, termasuk hak untuk hidup. Tidak ada HAM yang sebebas-bebasnya di Indonesia," ujar pengoleksi 15 hukuman mati itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rencana itu dituangkan dalam draf RUU KUHP dan mayoritas disetujui seluruh fraksi. Terpidana mati bisa diubah hukumannya menjadi 20 tahun penjara apabila berkelakuan baik. Gayus meminta DPR menggunakan kacamata kenegarawanan yang lebih luas yaitu konsep trias politik. Dalam UUD 1945, kewenangan mengadili dan menyatakan orang bersalah adalah lembaga yudikatif. Lembaga yang bisa memangkas kewenangan yudikatif tersebut adalah presiden yang kewenangannya diberikan setara yaitu lewat UUD 1945 pula yaitu melalui grasi sehingga berimbang.

"Mengubah hukuman mati menjadi hukuman penjara, itu kan sudah masuk wilayah yudikatif. Itu merusak sendi-sendi trias politika," papar guru besar Universitas Krisnadwipayana itu.

Wacana yang berkembang di DPR itu menuai pro kontra. Fraksi yang menolak tegas usulan itu baru datang dari Fraksi PKS. Menurut anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, ide tersebut bisa tumpang tindih dengan fungsi grasi yang dimiliki presiden. Selain itu, kewenangan mengurangi hukuman mati juga berpeluang oknum pemerintah bermain mata.
"Ini memberikan peluang dan potensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan bagi Kementerian Hukum. Misal ada yang divonis mati, karena ingin diberikan masa percobaan dan diubah hukuman matinya kemudian 'menyuap' pihak kementerian. Jadi ini potensial disalahgunakan," papar Nasir. (asp/rvk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads