"Dalam pembahasan tidak ada perdebatan yang sengit soal pasal-pasal terkait hukuman mati. Pembahasan lebih pada perbaikan rumusan-rumusan pasal agar sinkron," kata anggota Komisi III Arsul Sani kepada wartawan, Selasa (29/3/2016).
Aturan eksekusi mati yang dipersulit itu ada di pasal 102 RUU KUHP. Dalam pasal itu mengatur pelaksanaan eksekusi mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 tahun, jika selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati diubah menjadi seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun.
![]() |
RUU KUHP saat ini dibahas di dalam panja yang ada di Komisi III. Arsul mengatakan bahwa di akhir masa sidang lalu, Panja hanya meminta pemerintah sebagai pengusul untuk memperbaiki sistematika pasal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan terpidana mati bisa dijadikan pidana seumur hidup, menurut Arsul, karena paradigma pemidanaan modern berangkat dari keinginan merestorai pelaku kejahatan menjadi baik. Pendekatannya bukan untuk 'balas dendam' ke pelaku kejahatan.
"Kalau sudah divonis mati ternyata tidak berubah perilakunya baru dieksekusi. Jadi paradigma balas dendam memang sudah ditinggalkan," jelas mantan pengacara ini.
Fraksi yang menolak tegas usulan itu baru datang dari Fraksi PKS. Menurut anggota Fraksi PKS Nasir Djamil, ide tersebut bisa tumpang tindih dengan fungsi grasi yang dimiliki presiden. Selain itu, kewenangan mengurangi hukuman mati juga berpeluang oknum pemerintah bermain mata.
![]() |
"Ini memberikan peluang dan potensi abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan bagi Kementerian Hukum. Misal ada yang divonis mati, karena ingin diberikan masa percobaan dan diubah hukuman matinya kemudian 'menyuap' pihak kementerian. Jadi ini potensial disalahgunakan," papar Nasir.
Kritik terhadap rancangan aturan ini salah satunya disampaikan oleh BNN. Menurut BNN, eksekusi mati adalah harga final untuk gembong narkoba.
"BNN tunduk pada aturan mekanisme hukum. Alangkah indahnya kalau sindikat narkotika dihukum berat-berat dan eksekusi dipercepat," kata Kabag Humas BNN, Kombes Slamet Pribadi.
Sementara itu, hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun yang berkali-kali menjatuhkan hukuman mati keberatan dengan gagasan tersebut. Usulan DPR ini dinilai bertabrakan dengan fungsi lembaga pengadilan yang mempunyai hak untuk menjatuhkan hukuman mati. Usulan DPR itu dinilai bertentangan dengan nilai-nilai trias politika yang ada.
"Ini kan sama saja dengan mengubah putusan hakim. Ini akan membelenggu daya kreasi hakim dalam memutus sebuah kasus kalau nantinya akan diubah hukumannya," tandas Gayus. (imk/asp)













































