Kondisi ini berbeda saat ditemui detikcom di Singapura. Di negara tetangga Indonesia ini, taksi pelat hitam berbasis aplikasi bebas beroperasi tanpa ada protes dari pengemudi taksi resmi.
"Di sini nggak ada protes kalau demo mereka bisa ditahan," ujar Wang, Pegemudi Grab Car di Holiday Inn Express, Bideford Road, Singapura, Selasa (29/3/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika mencoba menuju Mustafa Centre dari hotel di area Orchard Road District, tarif dipatok flat SGD$ 10. Tarif ini tergantung jam operasi namun harga ini di luar tarif jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) yang berada di jalan-jalan utama Singapura.
"Sekarang tarifnya SGD$ 10, sebetulnya SGD$ 25 cuma saya disubsidi. Kita muter jalan, tarifnya juga sama. Ini tarifnya di luar ERP ya (SGD$ 1,5)," tambahnya.
Wang mengaku sudah beberapa bulan ini bergabung sebagai pegemudi GrabCar. Ia mengemudikan kendaraan miliknya. Sebelumnya, Ia berprofesi sebagai pengemudi taksi resmi beberapa tahun.
Wang menilai pendapatannya sebagai sopir taksi resmi dan GrabCar tidak berbeda jauh, namun Ia mengaku bisa bekerja lebih fleksibel sebagai pegemudi taksi berbasis aplikasi
"Kalau pegemudi Grab, saya bisa mengatur waktu kerja lebih fleksible, siang saat traffic sepi saya memilih pulang ke rumah tapi saya kembali lagi mengemudi mulai pukul 15.00," ujarnya.
Di tempat yang sama, Pengemudi taksi konvesional bernama Andrew membenarkan bila tarif taksi konvesional dan Grab Car tidak berbeda jauh. Selain itu, GrabCar juga terdata di Singapura, berbeda dengan Uber.
"Kalau GrabCar kita hampir sama, kita diatur. Beda sama Uber, di tarif bisa lebih mahal bahkan dia kadang bisa ambil penumpang di pinggir jalan tanpa aplikasi," sebut Andrew. (feb/dra)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini