Puncak polemik soal masa jabatan ini terjadi pada sidang paripurna DPD pada Kamis (17/3/2016) lalu yang berlangsung ricuh. Kericuhan terjadi setelah Ketua Badan Kehormatan DPD AM Fatwa memaksa Ketua DPD Irman Gusman dan Wakilnya Farouk Muhammad menandatangani draft usulan tatib. Selanjutnya AM Fatwa dkk kemudian menduduki kursi pimpinan begitu Irman dan Farouk meninggalkan ruang sidang paripurna.
Mantan anggota DPD RI periode 2004-2009, M.Yunus Syamsuddin menyesalkan terjadinya kericuhan saat paripurna tersebut. Kericuhan tersebut tak hanya mencederai wibawa lembaga DPD RI, tapi juga mempertontonkan sikap ketidakdewasaan dalam berpolitik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunus mengaku selama menjadi anggota DPD, tindakan memaksa Ketua DPD menandatangani tatib di paripurna adalah tidak lazim. "Tidak pernah ada proses penandatangan dokumen dalam sidang paripurna," kata dia.
Senator asal Sumatera Utara Dedi Iskandar Batubara juga menyayangkan terjadinya konflik yang membuat nama DPD RI menjadi semakin terpuruk di mata publik. "Jika bisa menahan diri seharusnya isu ini terkelola di internal di DPD RI. Sikap dewasa berpolitik harusnya dikedepankan," kata Dedi yang dihubungi secara terpisah.
Menurut Dedi, secara pribadi dirinya tidak setuju jika masa jabatan pimpinan DPD RI dipotong hingga 2,5 tahun karena tidak sesui dengan UUMD3. "Masa jabatan pimpinan DPD RI semestinya mengikuti rezim hasil pemilihan umum yaitu lima tahun," ujarnya.
Apalagi, kata Dedi, pimpinan DPD RI saat ini tidak pernah melanggar aturan apapun dan tak pernah melanggar etika sebagai pimpinan sehingga tidak ada alasan mengganti mereka di tengah jalan. "Justru yang harus kita lakukan adalah memperkuat posisi DPD RI dalam sistem tatanegara dan menjadikan lembaga ini semakin berdaya guna bagi kepentingan daerah dan rakyat," tegasnya.
(erd/van)