Berdasarkan catatan detikcom, Minggu (27/3/2016), sikap dan pandangan Arief itu tertuang dalam kesaksiannya pada saat anggota terpidana mati Andrew Chan-Myuran Sukumaran-Rani menggugat hukuman mati ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam. Arief dihadirkan atas permintaan MK.
"Bahwa memang dalam konteks internasional, belakangan ini menurut Remeling muncul kembali gerakan-gerakan untuk menghapuskan pidana mati, namun demikian Pasal 6 ayat (2) ICCPR sendiri tidak melarang pidana mati, meski hanya untuk kejahatan yang sangat serius. Maka untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar seharusnya ketentuan pidana mati tetap dipertahankan dalam sistem hukum pidana nasional dan hal itu sesuai dengan konstitusi," kata guru besar Hukum Pidana Universitas Jember itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahkan dengan kemajuan teknologi informasi, kejahatan narkotika dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime," ujar Dekan FH Universitas Jember 2008-2012 itu.
Bahwa untuk melindungi kepentingan hukum nasional yang lebih besar, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, maka pembentuk UU Narkotika merasa perlu mencantumkan ancaman pidana yang berat berupa pidana mati. Pencantuman pidana mati tersebut apabila dikaitkan dengan tujuan dari hukum pidana adalah untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum, dengan dijatuhkannya pidana mati kepada seseorang pelaku tindak pidana, maka para calon korban (potentual victimi) akan menjadi terlindungi.
"Bahwa kebijakan hukum pidana yang tercantum dalam draft RUU KUHP yang menitikberatkan pada perlindungan kepentingan masyarakat, maka wajar jika tetap mempertahankan sanksi pidana mati," ujar pria kelahiran 1 Januari 1960 itu.
Adapun terkait apakah pidana mati, apakah melanggar HAM atau melanggar konstitusi, Arief menegaskan hukuman mati tidak melanggar HAM dan konstitusi Indonesia. Meski harus diakui bahwa hak hidup adalah hak asasi yang didapat dan diberikan langsung oleh Tuhan, maka penjatuhhan pidana mati pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM apabila dilakukan dengan sewenang-wenang tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.
"Dengan demikian, yang dilarang adalah apabila pidana mati itu dijatuhkan tanpa dasar hukum atau dilakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, adalah relevan untuk mengkaitkan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dengan pembatasan yang diberikan oleh Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2), karena akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan narkotika begitu dahsyat, sehingga tidaklah tepat jika hanya beorientasi pada pelaku, tetapi mengabaikan korban narkotika," papar Arief.
Pendapat Arief diamini oleh MK dan menolak permohonan. Permohonan Andrew Chan-Myuran Sukumaran tidak diterima karena warga negara asing tidak memiliki hak menggugat UU Republik Indonesia, dan permohonan Rani ditolak. Rani dieksekusi mati pada Januari 2015 dan Andrew-Myuran dieksekusi mati pada April 2015.
"Bahwa pendapat agar pidana mati dihapuskan karena bertentangan dengan HAM dan dianggap tidak mempunyai efek jera, ancaman pidana belaka tidak banyak artinya kalau tidak dibarengi dengan penjatuhan pidana yang berat pula, maka agar menimbulkan efek jera pelaku tindak pidana narkotika harus dijatuhi pidana yang berat yakni pidana mati," pungkas Arief.
Nama Arief masuk dalam 86 nama yang lolos seleksi administrasi Komisi Yudisial (KY). Nama-nama itu akan diseleksi untuk menggantikan hakim agung yang pensiun pada tahun 2015 dan 2016 ini. Jika Arief lolos, maka ia bergabung dengan para hakim agung pendukung hukuman mati seperti hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun, hakim agung Prof Surya Jaya, hakim agung Dr Artidjo Alkostar, hakim agung Dr Salman Luthan, hakim agung Sri Murwahyuni, hakim agung Dr Andi Samsan Nganro dan hakim agung Dr Suhadi. (asp/jor)











































