Sejarawan Melihat Janji Manis Jepang untuk Kemerdekaan RI di Era Penjajahan Lalu

Sejarawan Melihat Janji Manis Jepang untuk Kemerdekaan RI di Era Penjajahan Lalu

Wisnu Prasetyo, - detikNews
Sabtu, 26 Mar 2016 18:16 WIB
Sejarawan Melihat Janji Manis Jepang untuk Kemerdekaan RI di Era Penjajahan Lalu
Foto: wisnu/ Penulis Aiko dan JJ Rizal dari Komunitas Bambu
Jakarta - Banyak yang terperdaya dengan janji manis Jepang untuk memerdekaan Indonesia pada September 1944. Tidak hanya masyarakat biasa, Hatta sempat "terbius" meski sempat menegaskan tidak mau berkompromi dengan Jepang.

Selain Hatta, Soekarno pun yang dikenal dengan politik berdikarinya juga "tergoda" dan tak menafikan janji Jepang tersebut sebagai celah yang harus dimanfaatkan.

"Bagaimana 2 tokoh besar di Indonesia, seperti Hatta pernah menulis di Koran lebih baik saya mati dibanding bertekuk lutut di hadapan Jepang, pada kenyatannya dia tunduk juga. Soekarno juga ingin kerjasama," ujar Sejarawan UI Peter Kasenda dalam diskusi buku 'Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya' di Coffewar, Kemang , Jakarta Selatan, Sabtu, (26/3/2016). Hadir dalam diskusi ini JJ Rizal dari Komunitas Bambu dan Aiko Kurasawa penulis buku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak hanya kaum pribumi yang merasa kedatangan Jepang sebagai angin segar pasca kolonialisme tak berkesudahan dari Belanda. Kala itu Jepang memang datang seakan sebagai kekuatan baru yang dielukan pasca mengalahkan Rusia tahun 1905.

"Propagandanya memang luar biasa, Jepang berhasil meraih hati rakyat yang sudah lelah dengan kolonialisme," tutur Peter.

"Waktu Jepang mengalahkan Rusia tahun 1905 itu menambahkan semangat bagi masyarakat Indonesia. Kok bisa orang Jepang mengalahkan orang kulit putih. Kemudian soal zaman pergerakan Nasional," sambung dia.

Meski demikian, masih ada elite yang tetap menentang kehadiran Jepang dan negara manapun yang ingin kembali menjajah Indonesia kala itu. Sutan Sjahrir menjadi tokoh yang konsisten menolak dan tidak percaya dengan propaganda Jepang.

"Kalau kita liat pemimpin di Indonesia kala itu ada yang berbeda, ada yang bekerjasama ada yang menolak seperti Sjahrir," tutur Peter. (dra/dra)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads