Hampir semua negara dihuni oleh identitas dan orientasi personal yang berbeda. Pertambahan jumlah penduduk juga membuat penyeragaman justru semakin sulit maka dibutuhkanlah sifat toleransi.
"Kontras memahami toleransi dari perspektif hak asasi manusia (HAM). Toleransi ada rasa hormat, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman budaya dunia kita. Berbagai bentuk ekspresi diri dan cara-cara menjadi manusia," kata Koordinator Kontras Haris Azhar dalam acara Seminar Peradaban 'Negara dan Intoleransi' yang diselenggarakan oleh Institut Peradaban bekerja sama dengan Yayasan Wakaf Paramadina dan Pusat Studi Kelirumologi di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Kamis (24/3/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu lanjut Haris, intoleransi yang terjadi di masyarakat sebenarnya bukan bersumber dari agama, suku, ras, dan etnis. Karena itu merupakan suatu hal yang sangat ilmiah.
"Sumber intoleransi itu ada di negara. Negara menjadi sumber intoleransi. Kalau dilihat dari berbagai aspek Indonesia itu bukan seperti Prancis atau Amerika ya. Agama diatur oleh negara. Di luar dari itu tidak boleh. Kalau ada atheis ditangkap. Tapi kalau mereka mau bergama, mereka gak boleh beragama yang macem-macem," ucap Haris.
Haris menekankan bahwa toleransi adalah tanggung jawab yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, plularisme, demokrasi, dan supremasi hukum.
"Pemaknaan kebebasan paling kuat terdapat pada pasal 28e ayat 1 dan 2 UUD 45 tentang dasar Ketuhanan Yang Maha Esa yang selanjutnya diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing," terangnya. (yds/dra)