Pengadilan Putuskan Kekejaman Orde Baru ke Wimanjaya Bukan Abuse of Power

Pengadilan Putuskan Kekejaman Orde Baru ke Wimanjaya Bukan Abuse of Power

Andi Saputra - detikNews
Jumat, 18 Mar 2016 11:12 WIB
Wimanjaya (harianto batubara/detikcom)
Jakarta - Ketokan palu Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta membungkam senyum Wimanjaya. Asa Wimanjaya yang mendapat ganti rugi Rp 1 miliar lewat vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), pupus. Ganti rugi itu dianulir.

Pemilik nama Prof Dr Wimanjaya Keeper Liotohe itu mulai melakukan serangkaian kritikan terhadap rezim Orde Baru pada tahun 90-an. Di mulai dengan meluncurkan buku Primadusta di Balai Kota Diemen, Amsterdam, Belanda, pada Oktober 1993. Di buku ini, Wimanjaya membeberkan kejahatan HAM yang dilakukan Soeharto pada tahun 1965. Buku ini membuat telinga Soeharto merah padam.

Sepulang dari Belanda, Wimanjaya langsung diciduk aparat. Ia diinterogasi aparat Kejaksaan Agung sebanyak tiga kali, kepolisian lima kali, Kejaksaan Tinggi satu kali dan menghadapi 12 jenderal untuk menjelaskan tentang buku tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak Januari 1994, ia mulai mengantongi status sebagai tahanan politik. Seluruh bukunya dihilangkan, dirinya dicekal ke luar negeri. Rezim kala itu telah melakukan serangkaian tindakan discrepenacy of law (cacat hukum).  Pencekalan ini dikeluarkan lewat SK Jaksa Agung Nomor KEP-068/D/Dp.2/10/1997 tertanggal 23 Oktober 1997.

Akibat kekritisannya kepada rezim, Wimanjaya harus meringkuk di penjara selama 2 tahun tanpa dosa. Tidak hanya Wimanjaya, rezim otoriter kala itu juga melakukan serangkaian teror kepada keluarganya, baik secara fisik maupun mental. 

Pencekalan dirinya baru dicabut dengan keluarnya SK Jaksa Agung Nomor B.970/D.2/Dp.2/11/1998 tertanggal 20 November 1998 atau beberapa bulan setelah Soeharto tumbang. Kala itu, ia tidak mau menjadi penonton di belakang layar televisi dan ia memilih ikut menduduki Gedung DPR selama tiga hari tiga malam hingga Soeharto berhenti.

Atas proses hukum yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah HAM ini, Wimanjaya lalu mengajukan ikhtiar hukum. Salah satunya meminta ganti rugi ke ke negara atas apa yang dialaminya. Gayung bersambut, PN Jaksel menyatakan rangkaian tindakan pemerintah tersebut adalah perbuatan melawan hukum (melakukan penahanan, perpanjangan penahanan, mengajukan tuntutan, pencekalan, melarang beredarnya buku penggugat, selama menjalani tindakan tersebut penggugat beserta keluarganya mengalami tekanan/teror baik fisik lahiriah maupun mental batiniah). Pada tahun 2015, PN Jaksel menilai perbuatan itu sebagai abuse of power. PN Jaksel menghukum pemerintah untuk memberikan ganti rugi Rp 1 miliar.

Atas hal itu, Jaksa Agung selaku pengacara negara mengajukan banding. Peta hukum berubah, Wimanjaya harus menelan pil pahit.

"Membatalkan putusan PN Jaksel. Mengadili sendiri, menolak gugatan terbanding (Wimanjaya)," demikian lansir website MA, Jumat (18/3/2016).

Duduk sebagai ketua majelis Heru Mulyono Ilwan dengan anggota Elnawisah dan Panusunan Harahap. Dalam putusan yang diketok pada 17 Februari 2016 itu, ketiganya menyatakan perbuatan rezim Soeharto terhadap Wimanjaya sudah sesuai kaidah hukum.

"Perbuatan pembanding (Pemerintah cq Jaksa Agung) tersebut bukan perbuatan melawan hukum atau pun abuse of power," ujar majelis hakim dengan suara bulat. (asp/nrl)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads